Bendera Bajak Laut Ancam Makna Sakral Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Desi Trihartati)*

Dalam beberapa pekan terakhir, sebuah fenomena kontroversial muncul di media sosial dan sejumlah wilayah di tanah air terlihat adanya fenomena pemasangan bendera bergambar tengkorak yang lazim diasosiasikan dengan simbol bajak laut dikibarkan di tempat-tempat umum dan acara komunitas. Meski yang dimaksud adalah sebagai hal guyonan atau estetika alternatif, hadirnya simbol yang sangat jauh dari nilai-nilai patriotisme dan kebangsaan dapat berpotensi merusak momentum kemerdekaan Indonesia. Hal ini menimbulkan kegaduhan dan kekhawatiran mendalam. Oleh karena itu, fenomena tersebut menjadi pengingat akan sejarah dan arti penting hari kemerdekaan, sehingga secara moral dan budaya pemasangan bendera yang tidak berkaitan dengan kebangsaan Indonesia terlebih yang mengancam kesakralan hari kemerdekaan boleh diabaikan.

Tokoh Hukum dan Aktivis Anti Korupsi, Mohammad Trijanto, menilai pengibaran bendera bajak laut (One Piece) sebagai bentuk pelecehan konstitusional dan perendahan martabat nasional dikutip dari Pasal 66 UU No. 24 Tahun 2009 tentang larangan terhadap penghinaan simbol negara. Ia menegaskan bahwa mengganti Bendera Merah Putih merupakan lambang sakral kedaulatan bangsa dengan bendera bajak laut fiktif dari budaya luar adalah tindakan pelecehan konstitusional dan perendahan martabat nasional Menurutnya, ini bukan soal kreativitas, tetapi pelanggaran hukum.

Kemerdekaan Indonesia yang diraih melalui pengorbanan, perjuangan gigih, dan semangat persatuan, selalu diidentikkan dengan lambang kebangsaan yakni bendera Sang Merah Putih. Warna merah dan putih yang sederhana itu menyimpan esensi perjuangan, pengorbanan darah, jiwa, dan keberanian untuk merdeka. Sayangnya, ketika simbol asing seperti tengkorak bajak laut dicampurkan ke dalam ruang publik, meski bersifat simbolik dan estetik, dapat mengusik tatanan simbol kebangsaan yang telah bertahan puluhan tahun.

Bagi masyarakat luas, bendera dan lambang kebangsaan bukan sekadar kain dan lukisan melainkan sebuah saksi bisu sejarah panjang serta peluh para pejuang, tangis ibu kartini, jerit pahlawan revolusi, hingga harapan generasi masa depan. Ketika simbol yang tidak relevan maupun bermuatan negatif seperti toleransi terhadap kekerasan dan perompakan yang ditampilkan bersamaan atau menggantikan makna Sang Merah Putih, maka ditakutkan dapat memunculkan rasa tidak nyaman, bahkan pelanggaran terhadap norma nasionalis.

Munculnya bendera bajak laut ini tidak terlepas dari tren masa kini dalam nasionalisme digital. Di era media sosial, simbol apa dapat meluas dengan cepat karena mudah diunggah oleh siapa saja dan terkadang menyebar tanpa konteks yang lengkap. Banyak pengguna yang mengunggah foto dengan bendera bajak laut sebagai latar belakang, tanpa menyadari potensi politis atau historisnya. Postingan di media sosial seperti TikTok dan Instagram pun dapat merefleksikan tren “visual edgy”, yang sekaligus menguji batas nilai kebangsaan.

Dalam konteks ini, pemerintah memiliki posisi strategis menjadi penyeimbang antara kebebasan berekspresi dan pelestarian nilai-nilai luhur kemerdekaan. Pemerintah dapat memperkuat pendekatan inklusif yakni dengan mengedepankan edukasi simbol nasional secara edukatif dan konteksual, serta menyediakan ruang resmi untuk menyampaikan aspirasi sosial. Dengan demikian, simbol kebangsaan tidak hanya dipertahankan status eskstrinya secara formal, tetapi juga menjadi sarana menguatkan kembali makna kemerdekaan yang hidup karena kebebasan berpendapat harus dijembatani dengan kebijakan yang proporsional dan edukatif.

Saat pemerintah bersama lembaga terkait konsisten mempertegas batas simbol kebangsaan, ini bukanlah sekadar bertindak represif tetapi meneguhkan identitas nasional, merajut kembali nilai fundamental yang kerap tertatih dalam arus digital dan globalisasi simbol. Kekuatan strategi tersebut melalui edukasi menyeluruh yakni dengan memahami makna bendera jauh lebih kuat ketika dipahami dari sudut pandang kultural, historis, dan emosional tak cukup hanya tekstual. Oleh karena itu, pemerintah dan institusi edukatif bergerak bersama meluncurkan program‐program yang mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk menyelami warisan semangat kemerdekaan secara mendalam.

Selanjutnya, diperlukannya kemitraan media dan pemerintah, guna menyiarkan narasi reflektif tentang makna kemerdekaan agar dapat mendorong resonansi simbolik yang lebih luas sehingga mampu membentuk opini publik yang sehat dan kritis. Ke depan, pemerintah memiliki peluang memanfaatkan momentum ini sebagai membangkitkan nasionalisme simbiotik antara watak historis dan dinamika kontemporer, serta seruan inovatif yang disertai ajakan positif misalnya kompetisi desain kreatif yang memadukan simbol nasional dan nilai kekinian tanpa melemahkan inti dari hari kemerdekaan. Lebih jauh, pemerintah bisa melibatkan tokoh muda, influencer, maupun komunitas kreatif dengan tujuan bukan hanya menjembatani gap generasi, tetapi juga memperkaya narasi kemerdekaan dengan perspektif lokal dan masa kini sekaligus meletakkan simbol nasional dalam kerangka relevansi hidup sehari-hari.

Munculnya bendera bergambar tengkorak bajak laut di ruang publik adalah peristiwa kecil yang mencerminkan tantangan besar di ranah simbolik dan historis. Namun, bersama pemerintah, lembaga pendidikan, dan media nasional, kita memiliki solusi nyata yakni mempertegas kembali makna sakral kemerdekaan. Ketika rakyat kembali memahami, menghormati, dan merasakan kebanggaan terhadap lambang nasional, secara otomatis terwujud semangat 17 Agustus di setiap sudut tanah air, di dunia digital maupun non-digital. Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah tak hanya menjaga simbol tetapi juga melestarikan jiwa dan sejarah bangsa. 

*Penulis merupakan Pengamat Sosial Kemasyarakatan