BPS Konsisten Gunakan Standar Nasional, Data Kemiskinan Tetap Kredibel

Oleh : Eka Kurniawan )*

Perbedaan angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia beberapa waktu terakhir menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat. Sebagian publik sempat kaget saat melihat laporan Bank Dunia yang menyebut angka penduduk miskin di Indonesia melonjak hingga 194,6 juta jiwa. Angka ini sangat berbeda dibanding data resmi BPS yang mencatat jumlah penduduk miskin nasional per Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang atau setara 8,47 persen dari total penduduk.

Namun, penting untuk dipahami bahwa kedua angka tersebut tidak dapat dibandingkan secara langsung. Perbedaan mencolok itu bukan disebabkan oleh kesalahan penghitungan, melainkan karena keduanya menggunakan acuan dan metodologi yang berbeda. Dalam konteks statistik dan kebijakan publik, metodologi yang digunakan menjadi kunci utama dalam menafsirkan data.

Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan global terbaru berdasarkan Purchasing Power Parities (PPP) 2021, yang menetapkan batas kemiskinan ekstrem pada pengeluaran di bawah tiga dolar AS per kapita per hari. Standar ini digunakan dalam laporan June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP) yang mengacu pada data PPP 2021 yang dirilis oleh International Comparison Program pada Mei 2024. Dengan perubahan ini, batas garis kemiskinan global mengalami penyesuaian secara menyeluruh.

Sementara itu, BPS secara konsisten menggunakan PPP 2017, sesuai dengan kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa BPS tetap menggunakan acuan tersebut demi menjaga kesinambungan pengukuran, pemantauan, dan evaluasi program pembangunan nasional. Ia menekankan bahwa penghitungan kemiskinan oleh BPS tidak lepas dari komitmen terhadap konteks domestik yang spesifik dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia.

Ateng juga menegaskan bahwa baik BPS maupun Bank Dunia sebenarnya menggunakan sumber data yang sama, yakni Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Namun, yang membedakan adalah garis kemiskinan yang dijadikan tolok ukur. Jika Bank Dunia memilih standar perbandingan global, BPS menggunakan standar nasional yang lebih sesuai dengan kebutuhan kebijakan di dalam negeri. Hal ini menjelaskan mengapa angka yang dihasilkan sangat berbeda, padahal berasal dari basis data yang sama.

Penjelasan BPS ini memberikan pemahaman penting bahwa perbedaan angka tidak berarti ada kesalahan atau manipulasi. Justru, hal ini menunjukkan bahwa lembaga statistik nasional bekerja dengan landasan metodologis yang jelas, konsisten, dan akuntabel. Penggunaan PPP 2017 yang menetapkan garis kemiskinan ekstrem pada 2,15 dolar AS per kapita per hari memungkinkan BPS untuk melakukan evaluasi program secara berkelanjutan dan tetap sejalan dengan rencana pembangunan pemerintah.

Pemerintah pun menyambut baik laporan BPS yang menunjukkan tren penurunan kemiskinan ekstrem. Prasetyo, selaku Menteri Sekretaris Negara, menyatakan bahwa penurunan angka kemiskinan adalah kabar yang menggembirakan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa capaian ini tidak membuat pemerintah berpuas diri. Upaya pengentasan kemiskinan, menurutnya, membutuhkan kerja sama lintas sektor dan partisipasi semua elemen bangsa.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, juga menyampaikan apresiasinya terhadap kinerja pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan. Ia menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu tujuan utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dasco bahkan menyatakan pihaknya akan meminta BPS memberikan penjelasan rinci kepada DPR agar seluruh anggota parlemen memahami konteks dan metodologi yang digunakan dalam penghitungan data kemiskinan tersebut.

Lebih lanjut, data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin ekstrem pada Maret 2025 tercatat sebanyak 2,38 juta jiwa atau setara 0,85 persen dari populasi. Ini merupakan hasil dari berbagai program intervensi sosial, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat yang terus dioptimalkan. Capaian ini patut diapresiasi sebagai hasil kerja keras yang terukur dan berdasarkan indikator yang kredibel.

BPS juga telah mengadopsi sejumlah pembaruan teknis dalam metode penghitungan deflator spasial, yaitu penyesuaian nilai ekonomi antarwilayah. Meski masih menggunakan PPP 2017, BPS terus melakukan penyempurnaan agar data yang dihasilkan tetap relevan dengan dinamika harga dan konsumsi masyarakat di berbagai daerah.

Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa statistik adalah alat bantu untuk kebijakan, bukan sekadar angka. Dalam hal ini, peran BPS sebagai lembaga resmi penyedia data nasional menjadi sangat penting untuk menjaga arah pembangunan tetap pada jalurnya. Konsistensi BPS dalam mengikuti RPJMN membuktikan komitmennya terhadap pembangunan yang berbasis data dan evidence-based policy.

Sebagai negara besar dengan tantangan sosial yang kompleks, Indonesia memerlukan sistem statistik yang kuat, independen, dan terpercaya. BPS telah menunjukkan kapasitas tersebut dengan cara yang profesional dan transparan. Perbedaan dengan data Bank Dunia bukanlah persoalan keakuratan, melainkan soal sudut pandang dan tujuan dari masing-masing penghitungan.

Dengan memahami perbedaan ini secara utuh, kita bisa menghindari kesimpulan yang tergesa-gesa atau bahkan menyesatkan. Pemerintah, parlemen, dan masyarakat dapat terus bekerja bersama untuk memastikan data digunakan secara bijak, proporsional, dan kontekstual demi kemajuan bangsa.

)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik