Pemerintah Dorong Sinergi Lintas Lembaga Berantas Beras Oplosan

Oleh: Bara Winatha*)

Praktik curang dalam tata niaga beras nasional kembali menjadi sorotan publik setelah Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap maraknya peredaran beras oplosan yang tidak sesuai dengan label dan mutu. Pemerintah menyatakan komitmennya untuk memberantas praktik oplosan ini secara sistemik melalui sinergi lintas lembaga negara. Kasus kecurangan dalam peredaran beras ini merusak kepercayaan konsumen dan juga mencederai sistem ketahanan pangan nasional. 

Anggota Komisi IV DPR RI, Arif Rahman, mengatakan bahwa praktik beras oplosan merupakan bentuk penipuan besar-besaran terhadap masyarakat Indonesia. Kecurangan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena mencederai upaya Indonesia dalam mewujudkan swasembada pangan. Pelanggaran terhadap mutu dan takaran dalam beras mencederai kredibilitas negara dalam menjamin kualitas bahan pangan yang beredar di pasar. Ia mendorong agar para pelaku pengoplos segera ditindak dan sistem pengawasan diperkuat lintas kementerian dan lembaga.

Kementerian Pertanian telah bergerak cepat dalam mengungkap praktik kecurangan tersebut. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengatakan bahwa kerugian akibat beras oplosan mencapai lebih dari Rp99 triliun per tahun. Ia menyebutkan bahwa data tersebut berasal dari hasil investigasi lintas laboratorium yang dilakukan oleh Kementan di seluruh Indonesia. Dari 268 sampel beras yang diuji, sebanyak 212 merek dinyatakan tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Ia menambahkan bahwa jika praktik tersebut telah berlangsung lebih dari satu tahun, nilai kerugiannya bisa jauh lebih besar dan mengindikasikan adanya manipulasi sistemik dalam tata niaga beras nasional.

Lebih lanjut, Amran menegaskan bahwa praktik yang dilakukan para pelaku bukan semata-mata pencampuran butir beras, tetapi sudah menyasar pada manipulasi harga dan kualitas untuk memperoleh keuntungan berlebih dari konsumen. Beras dengan harga beli di tingkat gabah Rp6.500 per kilogram, jika dikonversi secara wajar, mestinya tidak bisa dijual dalam kisaran harga Rp15.000 per kilogram kecuali melalui manipulasi mutu atau pengoplosan. Amran juga menanggapi kritik terkait ketidakseimbangan harga gabah dan beras yang dikeluhkan petani dan pelaku industri sebagai akar masalah.

Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menjelaskan bahwa beras premium memang bisa dicampur antara butir utuh dan butir patah, tetapi harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023 dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020. Namun jika pencampuran dilakukan dengan beras subsidi seperti beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang seharusnya dijual seharga Rp12.500 per kilogram, maka praktik tersebut termasuk dalam tindak pidana karena beras subsidi dilarang keras untuk dicampur atau dialihkan peruntukannya.

Arief menyebutkan bahwa untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut, pihaknya telah menggandeng Polri dan TNI melalui Satgas Pangan, serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan distribusi. Selain itu, Sistem digitalisasi mulai diterapkan melalui aplikasi Klik SPHP yang mewajibkan pengecer untuk terdaftar secara resmi dan tersertifikasi sebelum mendapatkan pasokan beras subsidi. Langkah ini diyakini mampu menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi beras SPHP ke masyarakat.

Di sisi lain, dukungan dari parlemen juga menguat. Dalam rapat kerja bersama Kementerian Pertanian, sejumlah anggota Komisi IV DPR menyoroti bahwa permasalahan beras oplosan bukanlah hal baru. Politisi dari berbagai fraksi menyoroti bahwa praktik ini telah menjadi warisan masalah lama yang kini mulai diberantas secara sistemik oleh pemerintah. Salah satu akar masalah yang mengemuka adalah kebijakan harga yang dianggap tidak realistis, terutama dalam penetapan harga pembelian gabah dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Ketidakseimbangan harga ini diduga menjadi celah bagi pelaku usaha untuk melakukan manipulasi demi menutup margin yang sempit.

Penegakan hukum yang tegas juga menjadi sorotan. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menyurati Kapolri dan Jaksa Agung dengan membawa data valid dari 13 laboratorium agar proses hukum bisa berjalan cepat dan menyeluruh. Pemerintah dan institusi hukum terus berkoordinasi untuk memberantas beras oplosan. Menteri Pertanian menegaskan bahwa pemerintah sangat serius dalam mengawal ketahanan pangan.

Upaya pemerintah pun diperluas ke level akar rumput. Salah satu langkah strategis yang tengah disiapkan adalah pembentukan outlet resmi untuk penyaluran beras subsidi melalui Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan meluncurkan program ini secara nasional pada 21 Juli 2025. Kehadiran koperasi ini diharapkan dapat menjadi jalur distribusi yang kredibel dan terjaga mutunya, sekaligus mempersempit ruang gerak praktik pengoplosan di tingkat pengecer dan pasar tradisional.

Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani juga memastikan bahwa pengawasan internal dan eksternal telah diperkuat. Rizal menyebutkan bahwa badan usaha yang ingin mendapatkan pasokan beras SPHP wajib mengantongi izin resmi dan mengikuti aturan main secara ketat. Bila ditemukan pelanggaran, sanksi pidana bisa diberlakukan hingga lima tahun penjara, terutama jika pelaku menjual beras subsidi di pasar modern atau mencampurkannya dengan beras non-subsidi.

Pemerintah mengimbau masyarakat untuk lebih cermat dalam memilih beras dan mengenali ciri-ciri beras premium serta medium. Dengan begitu, konsumen dapat terhindar dari manipulasi harga dan mutu, sekaligus membantu menciptakan ekosistem pasar yang lebih sehat dan adil. Upaya ini terus dilakukan demi memastikan setiap warga negara memperoleh haknya atas pangan yang sehat, layak, dan transparan.

*)Penulis merupakan pengamat sosial dan kemasyarakatan.