Danantara Pacu Hilirisasi Batu Bara Berbasis ESG

Oleh: Cintya Dewi )*

Pemerintah semakin memperkuat strategi hilirisasi sumber daya alam dengan pendekatan yang berkelanjutan. Melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) menjadi salah satu prioritas utama yang akan didanai.

Langkah ini mencerminkan komitmen serius untuk mengurangi ketergantungan pada impor LPG, sekaligus memanfaatkan potensi energi dalam negeri. Dengan pendekatan Environmental, Social, and Governance (ESG), proyek ini diarahkan untuk menjawab tantangan energi nasional secara berkelanjutan.

Nilai investasi gasifikasi batu bara menjadi DME diperkirakan mencapai sekitar US\$11 miliar. Jumlah tersebut menjadi yang terbesar dari total 21 proyek hilirisasi tahap pertama, dengan total investasi mencapai US\$40 miliar atau sekitar Rp659 triliun.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa proyek DME mencakup empat lokasi utama dan akan mengandalkan pembiayaan dari Danantara. Pemerintah memastikan bahwa seluruh pendanaan akan bersumber dari dalam negeri, tanpa ketergantungan pada investor asing.

Tri juga menegaskan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) akan dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaan proyek ini. Keterlibatan tersebut menjadi bentuk sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha nasional untuk mempercepat realisasi hilirisasi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menggarisbawahi bahwa pendekatan baru dalam proyek DME kali ini berbeda dengan sebelumnya. Ia menyatakan bahwa seluruh elemen proyek, mulai dari pendanaan, bahan baku, hingga off-taker, akan berasal dari dalam negeri.

Menurut Bahlil, yang dibutuhkan dari pihak asing bukan lagi pendanaan, melainkan teknologi. Pendekatan ini selaras dengan kebijakan Presiden yang ingin memperkuat kemandirian industri nasional, terutama di sektor energi dan pertambangan.

Bahlil juga menyebutkan bahwa pengembangan proyek DME akan dilakukan secara paralel di Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi ini mempertimbangkan kedekatan dengan sumber batu bara dan kesiapan infrastruktur.

Sebelumnya, proyek gasifikasi batu bara sempat dirintis melalui kerja sama antara PT Bukit Asam (Persero) Tbk dan perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products & Chemical Inc (APCI). Namun, proyek tersebut terhenti setelah mitra asing menarik diri untuk fokus pada proyek hidrogen di negaranya.

Pengalaman tersebut menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah. Kini, melalui Danantara, arah kebijakan beralih ke penguatan kontrol nasional terhadap proyek-proyek strategis.

Dalam pelaksanaannya, Danantara akan memastikan seluruh investasi berjalan sesuai dengan prinsip ESG. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan tanggung jawab lingkungan, tetapi juga menyangkut tata kelola yang baik dan dampak sosial yang positif.

ESG menjadi bagian tak terpisahkan dari kerangka evaluasi proyek. Setiap investasi yang didanai harus memenuhi standar kelayakan teknis, manfaat ekonomi, serta kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan.

Ketua Dewan Direktur Indonesia Investment Authority (INA), Ridha Wirakusumah, menyatakan bahwa pendekatan ESG merupakan fondasi utama dalam semua bentuk kemitraan strategis yang digagas bersama Danantara. Menurutnya, tujuan investasi bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan ekosistem industri yang sehat dan berdaya saing.

Ridha menilai bahwa sumber daya seperti batu bara dan nikel harus dimaksimalkan secara bertanggung jawab. Ia juga melihat pentingnya membangun industri hilir yang mampu menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan membuka peluang kerja luas di dalam negeri.

Melalui kerja sama dengan mitra teknis internasional, seperti Eramet yang memiliki pengalaman dalam pertambangan berkelanjutan, pemerintah tetap berupaya menjaga kualitas proyek sambil memastikan kontrol tetap berada di tangan nasional.

Eramet akan berperan dalam mendukung penerapan teknologi, efisiensi operasional, serta penerapan praktik tambang yang ramah lingkungan. Peran mereka ditekankan pada transfer pengetahuan, bukan penguasaan aset.

Hilirisasi batu bara menjadi DME bukan hanya upaya industrialisasi semata. Proyek ini juga memiliki nilai strategis dalam mengurangi defisit energi dan memperkuat ketahanan nasional.

Selain itu, pemanfaatan DME secara masif akan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon. Hal ini memperkuat posisi Indonesia dalam agenda transisi energi global yang semakin mendesak.

Pemerintah menyadari bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan keberlanjutan. Oleh karena itu, prinsip ESG terus dijadikan pedoman dalam setiap pengambilan keputusan investasi strategis.

Danantara, sebagai lembaga pengelola investasi negara, memainkan peran penting dalam memastikan arah kebijakan tetap konsisten dengan visi pembangunan jangka panjang. Setiap proyek yang dibiayai dipilih melalui evaluasi ketat untuk memastikan manfaatnya menyentuh sektor-sektor yang paling berdampak.

Fokus terhadap hilirisasi sumber daya alam, seperti batu bara dan nikel, mencerminkan strategi pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Dengan begitu, Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah, tetapi juga produsen yang mampu bersaing di pasar global.

Keterlibatan penuh BUMN dan swasta nasional menambah optimisme bahwa proyek-proyek ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Danantara akan bertindak sebagai fasilitator dan pengendali arah agar seluruh investasi sesuai dengan rencana strategis nasional.

Keberhasilan proyek DME akan menjadi tonggak penting dalam mewujudkan transformasi industri energi Indonesia. Dengan pendekatan yang matang dan dukungan seluruh pihak, proyek ini diproyeksikan menjadi contoh sukses investasi berkelanjutan berbasis sumber daya nasional.

Dengan fondasi yang kuat dan visi jangka panjang, pemerintah melalui Danantara berupaya membangun masa depan energi yang mandiri, efisien, dan ramah lingkungan bagi seluruh rakyat Indonesia.

)* Pemerhati Kebijakan Publik