Sektor Fiskal Jadi Fokus Pemerintah dalam Langkah Mitigasi Hadapi Tarif Impor Trump

Oleh Rani Ekawati Hartadinata )*

Masuknya Indonesia sebagai anggota resmi BRICS membawa konsekuensi strategis dalam peta ekonomi dan politik global. Di satu sisi, langkah ini membuka peluang kerja sama ekonomi dengan negara-negara berpengaruh seperti Tiongkok, India, Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Namun di sisi lain, dinamika geopolitik yang mengiringi keanggotaan ini juga memunculkan tantangan baru, terutama menyusul pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang akan menerapkan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara yang dianggap mendukung kebijakan anti-Amerika dari BRICS.

Pemerintah Indonesia menyikapi situasi ini dengan penuh kewaspadaan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah terus mencermati dinamika tersebut dan masih melanjutkan proses dialog aktif dengan pemerintah Amerika Serikat. Keanggotaan Indonesia di BRICS bukanlah bentuk konfrontasi geopolitik, melainkan strategi untuk memperkuat posisi ekonomi nasional di tengah perubahan tatanan dunia. Namun, langkah antisipatif tetap diperlukan, terutama untuk meminimalisir dampak kebijakan proteksionis AS terhadap perekonomian nasional.

Sri Mulyani menekankan bahwa situasi global yang penuh ketidakpastian menjadi salah satu faktor utama dalam penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026. Ia memastikan pemerintah akan menyusun kebijakan fiskal dengan hati-hati, mempertimbangkan dinamika eksternal dan kondisi dalam negeri. Pemerintah tidak ingin gegabah dalam merespons tekanan global, tetapi akan tetap gesit dan adaptif dalam menjaga daya tahan ekonomi nasional.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, turut menjelaskan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 telah dikoreksi pada kisaran 4,7 hingga 5 persen. Penyesuaian ini sejalan dengan prediksi lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang mencermati dampak kebijakan proteksionis terhadap arus perdagangan global.

Pemerintah merespons cepat dengan memperkuat stimulus fiskal sejak awal tahun 2025. Sebesar Rp 35 triliun telah digelontorkan dalam bentuk insentif dan stimulus yang diarahkan ke sektor konsumsi rumah tangga dan industri strategis. Insentif tersebut antara lain diskon tarif listrik, PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian rumah, penebalan bantuan sosial, dan dukungan langsung kepada industri padat karya. Stimulus ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mempertahankan aktivitas ekonomi, terutama di sektor-sektor yang berisiko terdampak oleh melemahnya ekspor.

Pada kuartal kedua, pemerintah kembali menyalurkan stimulus tambahan untuk mendorong konsumsi masyarakat selama libur sekolah. Berbagai diskon untuk moda transportasi publik seperti tiket pesawat, kereta api, kapal laut, hingga tarif tol diberikan untuk meningkatkan mobilitas dan belanja masyarakat. Selain itu, sebanyak 17 juta pekerja di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki menerima subsidi upah sebesar Rp 600 ribu per orang. Pemerintah juga memperkuat bantuan sosial untuk 14 juta keluarga penerima manfaat (KPM), dengan tambahan senilai Rp 600 ribu per keluarga.

Langkah mitigasi ini akan berlanjut pada semester kedua 2025. Pemerintah menargetkan percepatan program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembiayaan rumah melalui FLPP, serta pemberdayaan ekonomi desa melalui program koperasi Merah Putih. Percepatan realisasi belanja negara pada kuartal ketiga dan keempat diharapkan mampu menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. 

Namun mitigasi fiskal saja tidak cukup. Strategi diplomasi ekonomi juga menjadi kunci utama. Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Puteri Komarudin, menegaskan perlunya pemerintah merespons langkah Amerika Serikat secara konkret dan bermartabat. Indonesia harus menunjukkan bahwa posisinya sebagai anggota BRICS tidak mengurangi komitmen terhadap kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan, termasuk dengan mitra strategis seperti Amerika Serikat.

Puteri mendorong pembentukan strategic economic dialogue antara Indonesia dan AS, agar kedua negara bisa membahas persoalan tarif, perdagangan digital, investasi timbal balik, serta sertifikasi dan standardisasi produk secara menyeluruh. Pendekatan ini penting untuk membangun hubungan dagang yang konstruktif, meskipun terdapat perbedaan pandangan geopolitik di level global.

Selain memperkuat diplomasi, Puteri juga menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor. Dengan mempercepat penyelesaian perjanjian dagang seperti IEU-CEPA dan I-EAEU CEPA, serta membuka akses pasar baru ke kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar-pasar utama seperti Amerika Serikat.

Hilirisasi industri juga menjadi strategi jangka panjang yang terus dilanjutkan. Dengan meningkatkan nilai tambah produk ekspor, Indonesia dapat meningkatkan daya saing di pasar global dan lebih tahan terhadap perubahan kebijakan dagang dari negara-negara mitra. Produk-produk yang memiliki komponen industri dalam negeri tinggi cenderung memiliki nilai ekspor yang lebih stabil dan tidak mudah tertekan oleh tarif atau embargo.

Melalui kombinasi kebijakan fiskal yang adaptif, stimulus konsumsi domestik, diplomasi ekonomi yang aktif, dan diversifikasi ekspor yang progresif, Indonesia menunjukkan kesiapannya menghadapi tantangan baru dari dinamika global. Keanggotaan di BRICS menjadi momentum strategis untuk memperkuat posisi ekonomi Indonesia, namun juga menuntut kebijakan dalam negeri yang responsif, terukur, dan menyeluruh. Dengan menjaga stabilitas APBN dan mengarahkan belanja negara pada sektor-sektor yang paling terdampak, pemerintah tidak hanya melindungi perekonomian nasional, tetapi juga memperkuat fondasi menuju ketahanan ekonomi jangka panjang. 

)* penulis merupakan pengamat kebijakan ekonomi