Magang Profesional: Langkah Tegas Pemerintah Reformasi Sistem untuk Perlindungan PMI

Oleh: Landres Octav Pandega *)

Kasus tiga WNI magang yang overstay dan diduga terlibat perampokan di Prefektur Ibaraki, Jepang, menjadi cermin kelemahan serius dalam tata kelola penempatan pekerja magang kita. Bayu Rudialto (34), Nanda Arif Rianto (33), dan Jaka Sandra (23) kini menghadapi proses hukum setelah izin tinggal mereka habis. Sementara Kementerian P2MI dan KBRI Tokyo bergerak cepat memberikan pendampingan, tantangan sesungguhnya terletak pada reformasi sistem yang mencegah terulangnya tragedi serupa.

Pekerja magang—yang secara teknis bukan PMI formal—selama ini diurus oleh agen atau mitra perusahaan di Jepang, tanpa pendaftaran wajib di Kementerian P2MI. Akibatnya, hak konsuler dan perlindungan hukum terbatas hanya pada WNI berstatus PMI resmi. Kasus perampokan ini menegaskan potensi overstay dan pelanggaran hukum yang luput dari pantauan pemerintah . Kurangnya data membuat KBRI Tokyo bergerak reaktif, bukan proaktif, sehingga risiko bagi WNI meningkat.

Menteri P2MI Abdul Kadir Karding menegaskan bahwa setiap calon pekerja magang ke Jepang wajib terdaftar sebagai PMI legal. Ia menyoroti bahwa magang ini memang salah satu hal yang harus diatur tata kelolanya. Karding mengusulkan mekanisme pendaftaran wajib ke P2MI sebelum keberangkatan, mencakup verifikasi latar belakang, pelatihan pra-keberangkatan, dan jaminan asuransi. Dengan demikian, Kementerian dapat melakukan monitoring berkala, memberikan pendampingan hukum, serta memitigasi risiko overstay lebih awal.

Ia juga prihatin atas dampak reputasi. Dimana insiden ini  bisa merusak citra dan merugikan PMI yang akan berangkat maupun existing di Jepang. Kerusakan citra tersebut dapat menimbulkan hambatan bagi program Government to Government (G to G) sektor keperawatan dan teknik, yang selama ini menjadi tulang punggung diplomasi kerja Indonesia–Jepang.

Direktur Jenderal Perlindungan WNI, Judha Nugraha, mendukung inisiatif tersebut dengan menegaskan perlunya data utuh. Pihaknya sempat berujar membutuhkan data yang utuh agar bisa melakukan langkah cepat ketika kasus hukum muncul. Menurut Judha, data lengkap memudahkan KBRI Tokyo memantau status pemagang, memberikan pendampingan konsuler, dan berkoordinasi dengan otoritas Jepang secara efisien. Tanpa registrasi awal, KBRI hanya bisa bereaksi setelah insiden terjadi—pendekatan yang tak ideal bagi perlindungan migran.

Beberapa negara maju, seperti Korea Selatan dan Jerman, memiliki skema magang terintegrasi ke dalam sistem migrasi nasional. Calon pemagang wajib terdaftar, menjalani kurikulum pelatihan, dan memperoleh asuransi serta jaminan sosial sebelum diberangkatkan. Pengusaha atau lembaga penyalur diwajibkan melaporkan data secara berkala kepada kementerian terkait. Akhirnya, saat terjadi pelanggaran, konsulat atau perwakilan diplomatik dapat segera memberikan bantuan hukum dan sosial.

Mengadaptasi praktik tersebut akan memperkuat ekosistem migran kita. Indonesia dapat mengembangkan portal digital terpusat yang mencatat data biodata, kontrak, pelatihan, dan status visa dimana KBRI, P2MI, dan Kemenaker memastikan pemantauan ketat, mengurangi risiko overstay, serta meningkatkan kepastian hukum bagi pemagang.

Reformasi ini memerlukan kolaborasi lintas lembaga: P2MI sebagai pengelola data, Kementerian Tenaga Kerja sebagai regulator, Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan konsuler, serta kementerian teknis sesuai bidang magang (misal Kementerian Kesehatan untuk magang perawat). Selain itu, pelibatan sektor swasta dan lembaga pelatihan vokasi penting untuk memastikan kualitas SDM dan meminimalisir pelanggaran hukum.

Perusahaan penyalur wajib mengikuti sertifikasi pemerintah. Sanksi administratif—seperti pencabutan izin—dapat diterapkan bila terbukti menempatkan pemagang tanpa pendaftaran resmi. Di sisi lain, penghargaan atau insentif bisa diberikan bagi agen yang patuh standar. Pendekatan “stick and carrot” ini akan memupuk budaya kepatuhan dan profesionalisme.

Reformasi penempatan PMI magang bukan hanya soal meminimalisir risiko overstay—tetapi juga memperkuat diplomasi ekonomi dan ketenagakerjaan. Dengan sistem terintegrasi, data pemagang dapat digunakan analisis tren kebutuhan tenaga kerja, memungkinkan pemerintah merancang skema magang sesuai pasar internasional. Misalnya, menyesuaikan jumlah pemagang ke Jepang di sektor perawat berdasarkan demografi lansia Jepang.

Lebih jauh, profesional magang yang terlindungi dengan baik menjadi duta budaya Indonesia yang menampilkan etik kerja tinggi, menghormati norma lokal, dan membawa citra positif bangsa. Inilah pijakan diplomasi publik (public diplomacy) yang sulit dibeli: reputasi baik melalui pelaksanaan regulasi yang adil dan berpihak pada pekerja.

Kasus perampokan di Ibaraki menjadi momentum untuk membenahi sistem penempatan pemagang. Reformasi ini akan menciptakan ekosistem migrasi magang yang aman, terukur, dan bermartabat. Diaspora Indonesia, mendukung penuh inisiatif ini, karena perlindungan WNI di luar negeri adalah bagian dari kedaulatan nasional. Kita harus memastikan bahwa setiap langkah penempatan magang mencerminkan profesionalisme, keadilan, dan komitmen Global South dalam melindungi hak asasi manusia. Dengan reformasi yang konsisten, Indonesia dapat meneguhkan kapabilitasnya dalam diplomasi kerja internasional, membangun kepercayaan mitra strategis, dan memperluas peluang bagi generasi muda mengembangkan kompetensi secara aman.

*) Diaspora Indonesia

[edRW]