Oleh : Michelle Putri Santoso )*
Pupuk merupakan komponen vital dalam sistem pertanian modern, terutama bagi negara agraris seperti Indonesia yang tengah menapaki jalan menuju swasembada pangan. Dalam konteks ini, distribusi pupuk bersubsidi memainkan peranan sangat penting, tidak hanya sebagai sarana produksi tetapi juga sebagai penentu keberhasilan ketahanan pangan nasional. Ketersediaan pupuk yang memadai dan tepat waktu pada awal musim tanam menjadi syarat mutlak bagi tercapainya target produksi pangan yang berkelanjutan, sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam misi besarnya menjadikan Indonesia swasembada pangan secara mandiri.
Keseriusan pemerintah terlihat nyata ketika Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan yang melakukan langkah strategis dengan memangkas 145 regulasi yang selama ini menghambat penyaluran pupuk bersubsidi. Kebijakan ini membuka jalan bagi PT Pupuk Indonesia (Persero) untuk bergerak lebih cepat dalam mendistribusikan pupuk ke berbagai pelosok negeri, bahkan hingga ke ujung barat Nusantara seperti Aceh. Daerah ini dinilai memiliki potensi besar sebagai lumbung pangan nasional, dan kini mulai merasakan hasil dari jaminan pasokan pupuk yang lebih baik.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, meninjau langsung rantai distribusi pupuk di Aceh. Dengan menempuh perjalanan darat dari Bandara Sultan Iskandar Muda ke Kabupaten Pidie dan hingga ke pabrik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) di Aceh Utara, Rahmad memastikan bahwa tidak ada hambatan signifikan dalam distribusi pupuk bersubsidi di wilayah tersebut. Ia merasa optimistis karena stok pupuk di gudang maupun kios cukup untuk memenuhi kebutuhan musim tanam utama pada Oktober mendatang. Bahkan, pupuk komersial pun telah tersedia untuk memperkuat pasokan di berbagai daerah.
Optimisme Rahmad didasari pula oleh kesiapan pelaksanaan distribusi pupuk bersubsidi berdasarkan skema baru yang mulai diuji coba pada 17 Juli dan diterapkan penuh pada 1 Agustus 2025, sesuai Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025. Peraturan ini merupakan hasil dari deregulasi besar-besaran, memangkas puluhan undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan presiden yang selama ini membelit tata kelola pupuk. Inovasi kebijakan ini memperluas cakupan penerima manfaat, tidak hanya petani, tetapi juga pembudi daya ikan serta menambah jenis pupuk bersubsidi seperti SP-36 dan ZA.
Penetapan daftar penerima juga lebih disederhanakan. Jika sebelumnya membutuhkan surat keputusan dari kepala daerah, kini cukup dengan keputusan dari dinas pertanian. Perubahan ini diyakini dapat mempercepat proses penyaluran, mengurangi potensi birokrasi berbelit, dan menjamin petani mendapat pupuk sesuai masa tanam. Rahmad menekankan bahwa pupuk berkontribusi hingga 62 persen dalam produktivitas pertanian. Artinya, jika pupuk tersedia tepat waktu dan tepat sasaran, dampaknya sangat besar terhadap pencapaian swasembada pangan nasional.
Efektivitas sistem distribusi baru ini juga terlihat dari kesiapan para pelaku di lapangan. Irma, pemilik kios pupuk di Pidie, mengatakan bahwa ia dan petani di sekitarnya sudah mengikuti sosialisasi sistem baru dan siap menjalankannya. Ia menyebut penyaluran pupuk selama ini berjalan baik, dan dengan sistem baru, diharapkan bisa menjadi lebih efisien. Namun, tantangan tetap ada. Seorang petani dari Gampong Dua Paya, Said Adnan, menyampaikan bahwa keterbatasan sistem irigasi menjadi kendala serius dalam memaksimalkan lahan pertanian. Meski pupuk tersedia, mereka tidak bisa menanami seluruh lahan saat musim kemarau. Ia berharap pembangunan sistem irigasi teknis bisa segera tuntas pasca selesainya pembangunan Bendungan Rukoh, agar sawah-sawah di daerahnya bisa berproduksi sepanjang tahun.
Pemerintah daerah juga bergerak cepat seperti halnya yang dilakukan oleh Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Aceh, Bahrum Syah, menyatakan pihaknya telah menyosialisasikan perubahan tata kelola pupuk kepada kelompok tani. Salah satu perubahan penting adalah tambahan titik serah pupuk yang kini bisa dilakukan di koperasi atau kelompok pembudi daya ikan, selain di kios pengecer. Dengan meningkatnya alokasi pupuk bersubsidi secara nasional dari 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton, diharapkan petani bisa meningkatkan produktivitasnya secara signifikan.
Sementara itu, di wilayah lain seperti Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, tantangan penyaluran pupuk juga mendapat perhatian serius. Dalam pertemuan evaluasi penyaluran pupuk semester I 2025, Bupati Suwardi Haseng mengungkapkan rendahnya serapan pupuk subsidi yang hanya mencapai 32 persen untuk urea dan lebih rendah untuk jenis lainnya. Ia menginstruksikan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida untuk memperketat pengawasan dan meminta seluruh elemen, mulai dari Dinas Pertanian hingga kelompok tani, untuk meningkatkan sosialisasi serta efisiensi penggunaan pupuk.
Pimpinan PT Pupuk Indonesia wilayah Sulawesi Selatan, Wisnu Ramadhani, juga menekankan perlunya sinergi antar pihak, termasuk distributor, pengecer, penyuluh lapangan, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan serapan pupuk. Ia mengingatkan pentingnya melaporkan petani yang sudah beralih profesi atau pindah domisili agar alokasi pupuk dapat dialihkan ke petani aktif yang masih membutuhkan. Dengan anggaran pupuk subsidi mencapai Rp44 triliun, peningkatan efisiensi distribusi menjadi sangat krusial agar dana tersebut tepat sasaran.
Distribusi pupuk bukan sekadar urusan logistik, tetapi bagian tak terpisahkan dari strategi besar swasembada pangan. Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan petani menjadi fondasi utama kesuksesan program ini. Ketersediaan pupuk yang merata, regulasi yang tidak berbelit, serta perbaikan infrastruktur pendukung seperti irigasi akan menjadi penentu utama masa depan pangan Indonesia. Jika semua elemen berjalan sinergis, cita-cita Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdikari dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri bukanlah sekadar mimpi, melainkan keniscayaan yang sedang bergerak menuju kenyataan.
)* Penulis adalah seorang Pengamat Ekonomi dan Pertanian