Hilirisasi Nikel Bangun Ekosistem Industri Hijau Berkelanjutan

Oleh: Puteri Saraswati*)

Indonesia tengah menapaki jalan emas menuju kejayaan baru dalam peta industri global. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, negeri ini tidak lagi sekadar penonton dalam revolusi energi bersih. Melalui kebijakan hilirisasi nikel yang visioner, bangsa ini meneguhkan posisinya sebagai poros utama ekonomi hijau dunia, sekaligus menapaki tangga menuju status negara industri maju yang mandiri dan berdaulat.

Sejak larangan ekspor bijih nikel diberlakukan pada 2014, Indonesia membuktikan bahwa kedaulatan atas sumber daya alam bukanlah slogan kosong. Dalam waktu kurang dari satu dekade, nilai ekspor produk olahan nikel melonjak lebih dari 30 kali lipat, dari US$ 1 miliar menjadi US$ 33,64 miliar pada 2024. Ini bukan sekadar prestasi ekonomi, tetapi bukti bahwa arah pembangunan nasional kini berorientasi pada nilai tambah dan keberlanjutan—dua syarat mutlak menuju masa depan unggul dan kompetitif.

Transformasi ini tidak datang dari tekanan asing, tetapi lahir dari kesadaran kolektif untuk berdikari secara ekonomi. Pemerintah Indonesia, melalui strategi hilirisasi nikel, tengah membangun ekosistem industri kendaraan listrik (EV) yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pembangunan pabrik baterai di Karawang dan Morowali bukan hanya proyek bisnis, tetapi simbol kebangkitan industri nasional dan kebijakan strategis negara yang pro-rakyat, pro-lingkungan, dan pro-masa depan.

Di saat negara-negara maju berlomba mengamankan pasokan bahan baku untuk transisi energi mereka, Indonesia justru menunjukkan bahwa negara berkembang mampu berdiri tegak di garis depan perubahan global. Tak heran jika banyak pihak kini memandang Indonesia sebagai “kekuatan baru industri hijau dunia”.

Wakil Ketua Komite Hilirisasi Mineral dan Batubara Kadin Indonesia, Djoko Widayatno, menyatakan bahwa hilirisasi nikel telah menjadi tonggak penting dalam sejarah pertumbuhan ekonomi nasional. Namun ia juga mengingatkan, keberhasilan ini harus terus dilanjutkan hingga tercipta ekosistem industri EV yang lengkap, dari prekursor hingga kendaraan listrik. Nilai tambah yang dihasilkan dari baterai EV bahkan bisa mencapai ratusan kali lipat dibandingkan ekspor mentah, menjadi bukti konkret bahwa Indonesia tidak boleh kembali menjadi “lumbung mentah” bagi negara industri lain.

Komitmen industri juga semakin kuat. PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) misalnya, telah menjelma menjadi motor penggerak hilirisasi nasional. Dengan lebih dari 30 tenant industri dan tenaga kerja mencapai 85.000 orang, IMIP membuktikan bahwa industrialisasi bisa berjalan serentak dengan pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Direktur Komunikasi PT IMIP, Emilia Bassar, bahkan menegaskan bahwa kawasan ini kini berorientasi pada prinsip ESG dan efisiensi energi, termasuk penggunaan dump truck dan wheel loader listrik, serta pembangunan PLTS berkapasitas hingga 200 MW. Sebuah langkah nyata menuju Indonesia Hijau 2060.

Namun prestasi ini tidak datang tanpa tantangan. Fluktuasi harga global dan tekanan dari negara-negara asing yang merasa terancam oleh kemandirian Indonesia menjadi ujian konsistensi. Di sinilah semangat kebangsaan diuji. Kita tidak boleh mundur. Bangsa ini harus terus melangkah maju, memperkuat tata kelola, memperluas pelatihan SDM, dan mendorong alih teknologi agar kedaulatan industri nasional sepenuhnya berada di tangan anak bangsa.

Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menggarisbawahi pentingnya hilirisasi sebagai jalan keluar dari ketergantungan konsumsi menuju negara manufaktur yang mandiri. Ia percaya bahwa dengan pengembangan produk akhir seperti baterai EV, Indonesia tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membentuk karakter bangsa sebagai produsen unggul, bukan sekadar konsumen global.

Toto Pranoto dari Universitas Indonesia juga menambahkan bahwa keberhasilan hilirisasi harus diikuti tata kelola yang bersih dan perhatian terhadap lingkungan serta masyarakat lokal. Ini penting untuk memastikan bahwa industrialisasi kita bukan hanya efisien, tapi juga adil dan berkelanjutan. Dengan prinsip ini, Indonesia tidak hanya akan menjadi pusat produksi, tetapi teladan global dalam mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.

Bandingkan dengan Tiongkok yang membangun ekosistem EV selama satu dekade terakhir dan kini meraup lebih dari US$ 150 miliar dari industri tersebut. Indonesia pun memiliki potensi serupa, bahkan lebih besar. Tapi kuncinya adalah keberanian politik, kekompakan nasional, dan keberpihakan pada kepentingan jangka panjang bangsa. Hilirisasi adalah langkah politik, ekonomi, dan kultural untuk menyatakan: kita berdaulat atas kekayaan sendiri.

Generasi muda hari ini tidak hanya mewarisi kekayaan sumber daya, tetapi juga tanggung jawab besar untuk menjaganya. Melalui hilirisasi nikel, kita sedang membangun fondasi masa depan. Sebuah masa depan di mana Indonesia bukan lagi sekadar penyuplai bahan mentah, melainkan pencipta teknologi, inovasi, dan solusi global untuk dunia yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Kini, saatnya seluruh elemen bangsa bersatu: pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat. Mari kawal hilirisasi nikel sebagai misi nasional yang tak bisa ditawar. Inilah momentum kebangkitan industri hijau Indonesia—momentum yang akan dicatat sejarah sebagai tonggak kebangkitan negeri menuju kejayaan baru. Indonesia bangkit, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dunia yang lebih hijau, adil, dan berdaulat.

*) Penulis merupakan Jurnalis Ekonomi Hijau dan Energi