Hilirisasi Perkuat UMKM dan Ekonomi Daerah Jalan Menuju Pemerataan dan Kedaulatan Ekonomi Nasional

Oleh: Cahyo Widjaya*

Kebijakan hilirisasi mineral yang saat ini digencarkan pemerintah bukan sekadar strategi ekonomi jangka pendek. Lebih dari itu, hilirisasi adalah jalan panjang menuju pemerataan pembangunan dan kedaulatan ekonomi, terutama bagi daerah-daerah penghasil sumber daya alam. Tidak dapat dipungkiri, pengelolaan kekayaan alam selama ini cenderung menguntungkan pusat dan kelompok pemodal besar. Namun, dalam kerangka baru yang dicanangkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, paradigma ini mulai bergeser.

Bahlil menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi ke depan harus berkeadilan, bukan hanya bagi investor, tetapi juga bagi pelaku UMKM lokal, masyarakat setempat, dan pemerintah daerah. Menurutnya, nilai tambah dari sumber daya alam harus lebih banyak dinikmati oleh masyarakat di daerah-daerah penghasil. Mereka, kata Bahlil, harus menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Dalam pernyataan tertulis yang dirilis pada 25 Juni 2025, ia menekankan pentingnya pemerataan manfaat ekonomi agar tidak hanya terkonsentrasi di Jakarta.

Sebagai bukti nyata, Bahlil menunjuk keberhasilan hilirisasi di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Kedua provinsi ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, mencapai 20 persen—angka yang jauh melampaui rata-rata nasional sekitar 6 persen. Capaian ini menunjukkan bahwa industrialisasi berbasis sumber daya alam mampu mengangkat pertumbuhan daerah secara signifikan. Lebih dari sekadar statistik, hal ini menunjukkan adanya efek domino ekonomi yang bisa menghidupkan pelaku UMKM lokal, memperluas lapangan kerja, serta meningkatkan daya beli masyarakat.

Namun, Bahlil juga tidak menutup mata terhadap tantangan keberlanjutan. Ia menegaskan perlunya perencanaan jangka panjang agar daerah tidak mengalami stagnasi pascatambang. Pemerintah, katanya, tengah menyusun peta jalan hilirisasi pascatambang yang akan mencakup pengembangan sektor-sektor unggulan lain seperti perikanan dan perkebunan. “Jangan sampai setelah tambang selesai, daerahnya juga mati,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya kesinambungan ekonomi daerah dalam jangka panjang.

Meski demikian, kebijakan hilirisasi bukan tanpa kritik. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menyoroti dampak sosial dan ekologis dari proyek-proyek smelter. Laporan berjudul Daya Rusak Hilirisasi Nikel mengungkapkan bahwa kebijakan ini kerap menyebabkan ketimpangan dan kerusakan lingkungan di Maluku Utara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat adanya peningkatan angka kemiskinan di beberapa daerah sentra tambang seperti Sulawesi Tengah dan Maluku Utara antara 2022 dan 2023.

Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Alfarhat Kasman, menyoroti ekspansi industri smelter yang menggusur lahan pertanian dan wilayah tangkapan nelayan. Dampak ekologis seperti pencemaran air dan kerusakan hutan menyebabkan krisis lingkungan yang berdampak langsung terhadap kesehatan dan daya beli masyarakat. Dalam pandangannya, efek negatif ini justru berpotensi memperburuk kemiskinan di wilayah tambang.

Kritik lain datang dari kalangan akademisi. Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai dominasi investor asing, khususnya dari Tiongkok, dalam sektor hilirisasi membuat Indonesia hanya menikmati sebagian kecil dari keuntungan. Ia menyebutkan bahwa sekitar 70 persen dari hasil ekonomi dibawa ke luar negeri, sementara Indonesia hanya memperoleh 30 persen. Dengan struktur seperti ini, tujuan utama hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah nasional dinilai belum optimal.

Namun di tengah perdebatan ini, tokoh-tokoh muda dari kalangan organisasi masyarakat juga menunjukkan dukungan kuat terhadap hilirisasi. Ketua Bidang ESDM PP AMPG, Kevin Hartman Putella, menegaskan bahwa hilirisasi bukan hanya kebijakan ekonomi, tetapi juga bentuk konkret menuju pemerataan pembangunan dan kedaulatan ekonomi nasional. Menurut Kevin, program ini telah membuka banyak lapangan kerja, memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global, dan mendorong pembangunan wilayah-wilayah industri baru di luar Pulau Jawa.

Ia menyebut bahwa lebih dari 30 smelter telah beroperasi dan puluhan lainnya sedang dalam proses pembangunan. Kehadiran infrastruktur industri ini tidak hanya mempercepat pertumbuhan sektor pengolahan mineral, tetapi juga menarik investasi di sektor energi dan sumber daya alam lainnya. “Yang paling terasa adalah serapan tenaga kerja. Ratusan ribu lapangan kerja tercipta,” kata Kevin.

Di sisi lain, Kevin juga melihat hilirisasi sebagai bagian dari strategi besar Indonesia dalam transisi energi. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia berpeluang menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik. Menurutnya, arah kebijakan ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita, khususnya terkait industrialisasi dan peningkatan nilai tambah dalam negeri.

Meski tantangan masih banyak, mulai dari aspek lingkungan hingga dominasi asing, kebijakan hilirisasi tetap menyimpan harapan besar. Yang dibutuhkan kini adalah tata kelola yang transparan, pelibatan masyarakat lokal, serta komitmen kuat untuk memastikan bahwa pembangunan industri tidak meninggalkan kerusakan ekologis dan sosial. Pemerintah juga perlu memberi ruang yang lebih luas bagi UMKM agar tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku aktif dalam rantai produksi dan distribusi.

Dengan pendekatan yang menyeluruh—mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan—hilirisasi bisa menjadi motor pemerataan ekonomi yang sesungguhnya. Ketika sumber daya alam dikelola secara adil, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat lokal, maka kedaulatan ekonomi bukanlah mimpi. Hilirisasi, dalam konteks ini, adalah jembatan menuju Indonesia yang lebih mandiri, adil, dan sejahtera.

Peneliti Ekonomi Kerakyatan – Institut Ekonomi Nusantara