Aksi Nyata Pemerintah Menjaga Laut Natuna dari Kapal Asing

Oleh : Roy Mardiyanto )*

Penangkapan dua kapal ikan asing berbendera Vietnam di perairan Laut Natuna Utara menjadi cermin nyata komitmen Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah laut nasional. Operasi pengawasan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menandai langkah progresif dalam menghadapi praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) yang masih kerap terjadi di kawasan strategis tersebut. Ketegasan ini bukan sekadar bentuk penegakan hukum, tetapi juga strategi geopolitik dalam memastikan bahwa kekayaan laut nasional tidak dinikmati oleh pihak asing secara ilegal.

**Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP, Pung Nugroho Saksono**, menilai keberhasilan ini merupakan hasil dari sinergi antara petugas pengawasan dan partisipasi aktif masyarakat pesisir. Laporan dari nelayan lokal yang menjadi mata dan telinga negara di lapangan terbukti efektif dalam menangkal pelanggaran. Tidak hanya itu, fakta bahwa sebagian besar informasi terkait aktivitas ilegal berasal dari masyarakat menunjukkan bahwa semangat menjaga laut bukan hanya menjadi milik negara, melainkan juga dirasakan oleh rakyat di garis terdepan perbatasan.

Dalam tiga tahun terakhir, operasi KKP di wilayah Kepulauan Riau telah berhasil menangkap 147 kapal pelanggar, termasuk 62 kapal asing. Total potensi kerugian negara yang berhasil dicegah ditaksir mencapai Rp2,1 triliun. Ini bukan angka kecil. Nilai tersebut merepresentasikan hasil kerja keras dan konsistensi aparat dalam mempertahankan hak atas sumber daya laut nasional. Perairan Laut Natuna Utara, sebagai bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711, menyimpan potensi ikan sebesar 1,3 juta ton per tahun. Tidak mengherankan jika kawasan ini kerap menjadi incaran kapal asing, khususnya dari Vietnam, yang memanfaatkan perbedaan interpretasi batas laut sebagai celah untuk mengeksploitasi sumber daya secara ilegal.

Ketegangan di zona abu-abu antara Indonesia dan Vietnam menjadi tantangan tersendiri. Meskipun secara hukum Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah tersebut, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa pelanggaran oleh kapal asing kerap berlangsung secara sistematis, bahkan terorganisir. **Pung Nugroho Saksono** menyebut bahwa kapal-kapal Vietnam sering kali melakukan tindakan agresif seperti menabrak kapal patroli atau melemparkan tali untuk merusak baling-baling. Aksi-aksi semacam ini jelas merupakan bentuk provokasi yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia tidak hanya datang dari luar. Dari dalam negeri, keterbatasan armada pengawasan menjadi hambatan signifikan. Hanya tiga unit kapal pengawas KKP yang efektif menjangkau wilayah Natuna. Jumlah ini tentu belum mencukupi untuk skala ancaman yang ada. Karena itu, aspek penguatan kapasitas dan modernisasi armada pengawasan menjadi sangat mendesak. Dalam konteks ini, **Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari**, menekankan pentingnya dukungan anggaran yang memadai. Menurutnya, perlindungan wilayah laut membutuhkan semangat, infrastruktur, dan pendanaan yang sebanding dengan kompleksitas tantangannya.

Langkah strategis lain yang tengah dikembangkan pemerintah adalah integrasi teknologi dalam sistem pengawasan maritim. Digitalisasi sistem kontrol laut melalui penguatan Command Center diharapkan mampu memperluas jangkauan pengawasan secara real time dan efisien. Inovasi teknologi seperti ini sangat relevan di tengah keterbatasan fisik armada dan personel di lapangan. Transformasi digital dalam pengawasan perikanan tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu, tetapi juga menjadi bagian integral dari tata kelola perikanan modern yang berbasis data dan presisi.

Lebih jauh, penguatan peran masyarakat lokal dalam pengawasan berbasis komunitas menjadi pilar penting yang tidak boleh diabaikan. Ketika masyarakat pesisir merasa memiliki wilayah perairan mereka, rasa tanggung jawab untuk menjaga kedaulatan negara akan muncul secara alami. Dalam jangka panjang, upaya ini tidak hanya akan memperkuat pengawasan, tetapi juga membangun ketahanan sosial di wilayah-wilayah rawan pelanggaran.

Momentum keberhasilan penangkapan kapal Vietnam ini harus dijadikan tonggak untuk konsolidasi kebijakan maritim secara menyeluruh. Dari sisi diplomasi, pemerintah juga perlu terus memperkuat posisi tawar dalam penyelesaian batas maritim dengan negara tetangga. Ketegasan di laut harus diimbangi dengan kepiawaian di meja perundingan. Koherensi antara diplomasi dan penegakan hukum menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara maritim, tetapi juga dihormati karena keteguhannya dalam menjaga batas laut.

Tidak dapat disangkal, Laut Natuna Utara adalah bagian penting dari kedaulatan negara sekaligus lumbung protein nasional. Ancaman terhadap wilayah ini adalah ancaman terhadap ketahanan pangan dan kedaulatan nasional. Oleh karena itu, keberhasilan KKP dalam menangkap kapal asing ilegal harus dibaca sebagai simbol kekuatan negara dalam menegakkan hukum, menjaga sumber daya alam, dan melindungi nelayan lokal dari persaingan yang tidak adil.

Dengan semakin kompleksnya dinamika kelautan global, komitmen menjaga Laut Natuna harus dilihat sebagai investasi strategis jangka panjang. Pemerintah telah menunjukkan arah yang jelas dan langkah konkret, namun kesinambungan komitmen ini membutuhkan konsistensi dari semua pihak—baik eksekutif, legislatif, maupun masyarakat pesisir. Selama ketegasan ini dijaga, tidak ada kapal asing yang boleh merasa nyaman mengambil ikan di perairan Indonesia.

)* Penulis merupakan pengamat isu strategis