Prabowo–Putin Sepakat Perkuat Kerja Sama Strategis Bidang Nuklir dan Migas

Oleh : Naura Astika

Dalam momentum kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Rusia pada 18–19 Juni 2025, kedua negara menegaskan niatan memperluas kerja sama strategis, terutama dalam sektor nuklir dan migas. Presiden Vladimir Putin secara terbuka menyatakan kesiapan Rusia untuk mendukung Indonesia membangun infrastruktur nuklir damai, serta memperkuat kolaborasi migas melalui proyek-proyek kilang dan pasokan energi. Ini bukan sekadar janji diplomatik, sinyal realistis diuji lewat kunjungan ke St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF), serta pernyataan keras dari legislator dan pejabat pemerintahan kedua negara.

Dukungan dari parlemen Indonesia juga sangat terbuka. Anggota Komisi XII DPR, Syarifuddin (PKB), menyampaikan apresiasi penuh terhadap rencana tersebut, sepanjang semua proyek nuklir berjalan untuk tujuan damai dan didukung standar keselamatan tinggi. DPR siap mendorong keterlibatan perguruan tinggi dan BUMN untuk memastikan transfer ilmu dan karyawan bersertifikasi.

Di sisi negara, Rusia memberi penawaran komprehensif. Putin memastikan Rosatom beserta perusahaan migas Rusia seperti Zarubezneft, Rosneft, dan Gazprom siap mendukung pembangunan kilang baru—termasuk Tuban dan kompleks petrokimia di Jawa Timur. Selain itu, Rusia juga berkomitmen untuk menambah pasokan LNG dan minyak ke Indonesia, termasuk kerja sama optimalisasi lapangan-lapangan tua dan modernisasi infrastruktur hulu migas.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa dalam RUPTL (2025–2034) Indonesia menjaga opsi membangun PLTN 500 MW berbasis SMR (Small Modular Reactor). Saat ini masih dalam tahap studi kelayakan, namun pertemuan kedua pemimpin telah memperkuat arah kebijakan tersebut. Teknologi nuklir modular berdaya kecil memang ideal bagi negara kepulauan seperti Indonesia, yang membutuhkan sumber energi terdesentralisasi dan berbiaya efisien di wilayah terpencil.

Strategi ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk capai net‑zero emissions tahun 2060. Perkembangan ini menorehkan kemajuan nyata dalam diversifikasi energi: dari dominasi batu bara menuju sumber baru yang lebih bersih. Presiden Prabowo menyatakan bahwa rencana pembangunan PLTN adalah bagian penting dari transformasi energi nasional dan sudah masuk dalam RUPTL.

Dari sudut geopolitik, kolaborasi ini memperkaya posisi tawar Indonesia sebagai negara yang memiliki kebijakan luar negeri bebas aktif dan penuh keseimbangan. Keterlibatan Rusia di sektor energi strategis memberikan pilihan alternatif, sekaligus memperkuat mitigasi risiko pasokan—apabila terjadi ketegangan global. Diperkaya dukungan penuh dari parlemen dan kesiapan teknis dari Rusia, proyek ini dapat dijalankan dengan landasan solid.

Namun, jalan ke depan tetap menantang. Pertama, aspek keselamatan dan penerimaan publik terhadap nuklir perlu dipastikan melalui edukasi, sosialisasi, dan transparansi regulasi. Kedua, semua skema kontrak, pendanaan, serta teknologi harus dipastikan bebas dari tekanan sanksi internasional yang mungkin membayangi proyek Rusia. Indonesia perlu studi cermat terhadap risiko geopolitik dan membangun mekanisme mitigasi.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syafruddin, mengatakan Kerja sama Indonesia Rusia di sektor migas merupakan langkah positif dalam menjawab tantangan energi global, Kita perlu membuka ruang yang lebih luas untuk investasi dan pertukaran teknologi agar sektor ini dapat tumbuh secara berkelanjutan. Pihaknya optimis bahwa pemanfaatan energi nuklir, asalkan dilakukan dengan standar keselamatan yang tinggi dan pengawasan ketat, dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang bersih dan berkelanjutan.

Rusia memiliki pengalaman panjang dalam pengembangan teknologi nuklir sipil, sehingga Indonesia dapat banyak belajar dari negara tersebut. Kerja sama nuklir dan migas juga dapat menjadi medium penting bagi pengembangan sumber daya manusia. Kolaborasi dapat mencakup pelatihan SDM melalui beasiswa, pertukaran riset dengan institusi seperti Rosatom, pengiriman teknisi, dan peningkatan kapasitas domestik melalui pendirian pusat riset gabungan. Legislator mendorong keterlibatan perguruan tinggi dan BUMN agar muncul multiplier effect bagi kapabilitas nasional.

Secara ekonomi, kesempatan ini dapat memperluas investasi sektor energi. Setelah masuknya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS—yang mendapat apresiasi Rusia—perluasan kerja sama energi dapat menjadi fondasi iklim investasi antara ASEAN–Eurasia. Pembicaraan FTA antara Indonesia dan Uni Ekonomi Eurasia yang tengah berlangsung akan memperkuat pijakan investasi ini.

Arah ke depan idealnya terbagi dalam beberapa fase: dimulai dengan studi kelayakan dan perencanaan nuklir modular 500 MW pada 2025–2027; melanjutkan dengan pembangunan pilot PLTN dan proyek kilang Tuban hingga 2030; dan diintegrasikan ke jaringan energi nasional menuju 2032 dan seterusnya. Pada saat bersamaan, program pelatihan dan kemajuan teknis harus berjalan paralel.

Dengan landasan politik kuat, dukungan legislatif, peluang finansial, dan teknologi yang ditawarkan Rusia, kerja sama nuklir dan migas antara Indonesia dan Rusia kini berada pada titik awal yang menjanjikan. Jika dikelola dengan hati-hati dan transparan, kolaborasi ini dapat menjadi tonggak baharu dalam diversifikasi energi, penguatan ekonomi, dan peningkatan kapabilitas nasional—mengantarkan Indonesia ke era energi bersih dan mandiri di tengah kompleksitas geopolitik global.

)* Pengamat Isu Strategis