Kenaikan Gaji Hakim, Langkah Nyata Pemerintah Perkuat Supremasi Hukum

Oleh: Hasna Miftahul )*

Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi sistem peradilan melalui langkah konkret yang selama ini ditunggu banyak pihak. Keputusan Presiden Prabowo Subianto menaikkan gaji hakim hingga 280 persen merupakan bagian dari upaya menyeluruh untuk memperkuat integritas lembaga kehakiman, sekaligus menjadikan penegakan hukum di Indonesia sebagai pilar utama dalam pembangunan nasional. Kebijakan ini bukan sekadar insentif finansial, melainkan juga bentuk penguatan kelembagaan yang sangat dibutuhkan.

Sudah lama permasalahan kesejahteraan hakim menjadi topik yang bergulir di tengah isu-isu korupsi dan rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Dalam konteks ini, langkah pemerintah melalui kenaikan gaji tersebut tidak bisa dilepaskan dari upaya strategis membangun ulang kepercayaan masyarakat terhadap dunia hukum. 

Kepala negara secara tegas menyampaikan bahwa peningkatan kesejahteraan hakim harus menjadi fondasi baru bagi lahirnya aparat peradilan yang bersih dan berwibawa. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini pun ditujukan paling signifikan kepada hakim-hakim junior yang selama ini dianggap paling rentan terhadap godaan penyimpangan.

Komisi Yudisial (KY) melalui ketuanya, Amzulian Rifai, menyambut baik kebijakan tersebut dan menilai bahwa inisiatif ini mencerminkan perhatian negara terhadap integritas peradilan. Kenaikan gaji ini dinilai sebagai langkah penting untuk mendorong hadirnya hakim yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga kuat dalam integritas moral. 

Dengan adanya insentif yang cukup besar, KY berpandangan bahwa tidak ada lagi alasan pembenaran terhadap penyimpangan dengan dalih keterbatasan kesejahteraan. Lembaga pengawas hakim tersebut juga berharap Mahkamah Agung semakin tegas dalam menindak pelanggaran, dengan penerapan prinsip tanpa toleransi terhadap praktik korupsi yudisial.

Mahkamah Agung, melalui juru bicaranya, Yanto, turut menyampaikan apresiasi atas kebijakan tersebut. Menurutnya, peningkatan kesejahteraan merupakan bentuk nyata perhatian pemerintah yang selama ini belum pernah terjadi dalam 18 tahun terakhir. MA berharap insentif yang signifikan ini dapat menjadi dorongan bagi hakim untuk menegakkan hukum dengan lebih fokus dan tanpa gangguan tekanan ekonomi. 

MA menekankan pentingnya sikap hidup sederhana di kalangan hakim dan menghindari gaya hidup mewah yang bisa mencederai wibawa institusi peradilan. Dukungan dari negara, dalam pandangan MA, harus dibalas dengan tanggung jawab moral dan profesional yang tinggi.

Di sisi legislatif, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Dede Indra Permana, menggarisbawahi bahwa keputusan Presiden untuk menaikkan gaji hakim mencerminkan keberanian politik dalam menegakkan supremasi hukum. Menurutnya, langkah ini diambil di tengah kebijakan efisiensi anggaran yang sedang diberlakukan di hampir semua sektor pemerintahan. 

Kenaikan gaji ini menunjukkan bahwa pemerintah menempatkan peradilan dalam prioritas utama pembangunan. Ia menilai bahwa peningkatan kesejahteraan harus menjadi titik tolak reformasi sistem peradilan secara menyeluruh, termasuk dalam tata kelola perkara dan kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat.

Dede juga menilai pentingnya pengawasan yang berkelanjutan dari parlemen terhadap lembaga kehakiman. Komisi III DPR berkomitmen untuk mendorong reformasi dan inovasi dalam sistem manajemen perkara. Baginya, peningkatan kesejahteraan harus berjalan seiring dengan peningkatan kinerja, profesionalitas, dan akuntabilitas para hakim. Hakim, sebagai aktor utama dalam proses penegakan hukum, harus tampil menjadi harapan bagi masyarakat yang selama ini mendambakan keadilan yang bersih dan berintegritas.

Dengan dukungan dari semua pihak, kebijakan ini kini menjadi bagian dari gerakan nasional untuk membangun sistem hukum yang kuat, adil, dan bersih dari praktik menyimpang. Kebijakan ini juga sekaligus mengembalikan martabat hakim sebagai penjaga keadilan, yang bukan hanya berperan secara hukum, tetapi juga menjadi panutan etika di tengah masyarakat.

Tentu, kesejahteraan bukan satu-satunya jawaban terhadap kompleksitas tantangan di dunia peradilan. Namun, dalam konteks Indonesia hari ini, peningkatan gaji hakim yang dilakukan oleh pemerintah merupakan langkah penting dan simbolik. 

Presiden Prabowo Subianto menempatkan institusi peradilan pada posisi strategis, sejajar dengan agenda besar reformasi birokrasi dan penegakan hukum nasional. Publik kini memiliki alasan untuk percaya bahwa penguatan sistem hukum tidak lagi menjadi wacana semata, melainkan telah ditindaklanjuti melalui kebijakan yang berpihak dan terukur.

Kesejahteraan hakim bukan sekadar urusan angka di atas kertas, melainkan pondasi dari tatanan hukum yang bisa diandalkan. Dengan gaji yang meningkat, tekanan ekonomi terhadap hakim akan berkurang, dan godaan terhadap praktik menyimpang diharapkan semakin kecil. 

Namun di sisi lain, ini juga menjadi ujian bagi hakim-hakim di seluruh Indonesia, apakah mereka mampu membalas kepercayaan negara dengan menjunjung tinggi keadilan secara murni. Pemerintah telah memberikan dukungan yang nyata, dan kini saatnya sistem peradilan menunjukkan hasilnya.

Lebih jauh, kenaikan gaji ini diharapkan dapat menarik lebih banyak talenta hukum terbaik bangsa untuk bergabung ke dalam institusi kehakiman. Selama ini, profesi hakim seringkali dipandang kurang menarik dibanding sektor lain yang menawarkan kompensasi lebih tinggi. 

Dengan insentif yang kompetitif, kini menjadi hakim bukan hanya pilihan idealis, tetapi juga realistis dari sisi kesejahteraan. Ini penting untuk menjamin regenerasi aparatur peradilan yang berkualitas dan berdedikasi tinggi. Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga dapat mempersempit celah ketimpangan antara lembaga peradilan dan institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan atau kepolisian.

)*Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia