RUU Sisdiknas Dorong Penyelarasan Pendidikan Formal dan Non-Formal 

Oleh : Rahayu Kirani )*

Upaya pembaruan sistem pendidikan di Indonesia kembali menjadi perhatian setelah Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) resmi masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. RUU ini dinilai sangat penting karena tidak hanya menyasar aspek administratif dan normatif, tetapi juga menyentuh aspek substansial yang berkaitan langsung dengan kualitas pendidikan, kesejahteraan tenaga pendidik, dan akses pendidikan yang merata. Dalam konteks yang lebih luas, RUU Sisdiknas juga diharapkan menjadi instrumen hukum yang mampu menyelaraskan pendidikan formal dan non-formal secara harmonis.

Anggota Komisi X DPR RI, Andi Muawiyah Ramly, menegaskan bahwa RUU Sisdiknas harus mampu menjamin peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan RUU tersebut tidak boleh hanya sebatas perbaikan administrasi, melainkan harus menjawab kebutuhan nyata di lapangan. Salah satunya adalah dengan memberikan jaminan atas kualitas proses pembelajaran serta memastikan pemerataan akses pendidikan, termasuk di daerah-daerah terpencil yang selama ini masih mengalami ketimpangan.

Andi menambahkan bahwa standar nasional pendidikan perlu diperkuat dan implementasinya harus dikawal dengan ketat. Tidak cukup hanya meningkatkan angka partisipasi pendidikan, tetapi kualitas dan substansi pembelajaran juga harus ditingkatkan. Andi menyoroti perlunya pengakuan terhadap semua bentuk pendidikan, termasuk yang berbasis kearifan lokal, serta pentingnya menyelaraskan pendidikan formal dan non-formal agar tidak terjadi dikotomi yang merugikan peserta didik.

Ia juga menekankan perlunya RUU ini memberikan perhatian serius terhadap tenaga pendidik. Peningkatan kompetensi guru, pemberian insentif yang layak, dan perlindungan hukum merupakan tiga pilar yang tidak boleh diabaikan. Mutu pendidikan tidak akan meningkat jika guru tidak diperhatikan secara serius. Diharapkan RUU ini mampu memberi rasa keadilan bagi seluruh pelaku pendidikan, termasuk para guru dan tenaga kependidikan di berbagai sektor.

Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, ikut memberikan catatan kritis terkait pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang masih menyisakan persoalan, khususnya soal daya dukung sekolah negeri di sejumlah daerah. Menurutnya, negara harus hadir untuk menjamin hak pendidikan seluruh warga negara, termasuk dengan memberikan perhatian kepada sekolah swasta. Ia menyampaikan ide untuk mengintegrasikan sistem penerimaan siswa antara sekolah negeri dan swasta agar negara lebih konkret dalam memberikan dukungan terhadap lembaga pendidikan non-negeri.

Hetifah juga menyarankan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdampak pada sistem pendidikan nasional, terutama dalam hal penyesuaian masa pendidikan dasar menjadi 13 tahun, mencakup jenjang SD hingga SMA/SMK. Menurutnya, perubahan ini memerlukan perencanaan yang matang dan komprehensif. Selain itu, Hetifah menilai pentingnya mempertahankan asesmen nasional sebagai instrumen evaluasi hasil belajar individu yang bersifat formatif, bukan sebagai penentu kelulusan layaknya ujian nasional. Evaluasi semacam ini dianggap lebih sehat dalam membangun semangat belajar siswa tanpa tekanan berlebih.

Di sisi lain, perdebatan seputar kebijakan jam masuk sekolah yang dimajukan menjadi pukul 06.30 dan penghapusan pekerjaan rumah (PR) juga mendapat perhatian. Hetifah menyampaikan pentingnya keseimbangan antara kegiatan belajar-mengajar di sekolah dengan aktivitas anak di luar sekolah. Menurutnya, pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga menjadi ruang kontribusi aktif dari orang tua dalam mengarahkan kegiatan anak-anak di rumah agar tetap bersifat mendidik.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Patipulhayat, turut memperkuat urgensi RUU Sisdiknas dengan menyampaikan rencana kodifikasi atau penggabungan sejumlah undang-undang yang selama ini mengatur pendidikan di Indonesia secara terpisah. Melalui pendekatan omnibus law, RUU ini diharapkan dapat menyatukan ketentuan dari berbagai regulasi, mulai dari UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, hingga UU Pesantren. Atip menyebut langkah ini penting agar pemerintah memiliki satu sistem pendidikan nasional yang terintegrasi dan tidak tumpang tindih dalam pelaksanaan maupun pengawasan.

Atip mengungkapkan bahwa selama ini, UU Sisdiknas cenderung dipahami sebagai milik Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, sementara pendidikan tinggi, guru, dan pesantren memiliki regulasi tersendiri. Hal ini menciptakan fragmentasi kebijakan yang tidak sinkron. Dengan RUU baru, diharapkan semua jenjang pendidikan dan seluruh bentuk pendidikan (formal, non-formal, dan informal) dapat diatur dalam satu payung hukum yang menyeluruh dan saling mendukung.

Langkah kodifikasi ini juga mencerminkan praktik legislasi yang telah digunakan dalam sejumlah regulasi penting sebelumnya, seperti UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan. Melalui metode yang sama, RUU Sisdiknas diharapkan mampu memberikan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, dan efisiensi tata kelola pendidikan di Indonesia.

Penyelarasan antara pendidikan formal dan non-formal menjadi sangat relevan dalam konteks perkembangan zaman yang kian cepat. Di era digital saat ini, banyak peserta didik memperoleh ilmu dan keterampilan dari jalur non-formal seperti kursus, pelatihan, bahkan platform daring. Tanpa pengakuan dan integrasi yang memadai, potensi besar dari pendidikan non-formal bisa terabaikan. Karena itu, RUU ini perlu dirancang agar fleksibel dalam mengakomodasi beragam bentuk pendidikan dan memberikan rekognisi yang setara bagi semua jalur pembelajaran.

Dengan berbagai catatan dan harapan dari berbagai pihak, RUU Sisdiknas menjadi titik tolak penting dalam reformasi pendidikan nasional. Tidak hanya menjadi regulasi teknis, tetapi juga cermin visi besar bangsa dalam menyiapkan generasi masa depan yang unggul, berdaya saing, dan memiliki akses pendidikan yang adil serta berkualitas. Diperlukan keberanian politik dan konsensus yang kuat dari DPR, pemerintah, dan masyarakat untuk menjadikan RUU ini bukan sekadar dokumen hukum, tetapi fondasi transformasi pendidikan Indonesia yang lebih menyeluruh dan inklusif.

)* Pengamat Kebijakan Pemerintah