Penggantian Kebijakan Tarif Listrik Demi Efektivitas dan Efisiensi Bantuan pada Rakyat

Oleh: Cahyo Widjaya

Pemerintah membatalkan pemberian diskon tarif listrik 50% untuk periode Juni–Juli 2025. Keputusan tersebut bukan sebuah langkah mundur, melainkan justru menjadi bagian dari reposisi kebijakan agar stimulus ekonomi dapat benar-benar mencapai sasaran dengan dampak secara maksimal dalam waktu yang cepat. 

Kementerian Keuangan secara langsung menyampaikan bahwa skema bantuan berupa diskon listrik tersebut ternyata dianggap kurang efektif untuk bisa mendorong daya beli bagi masyarakat, dan oleh karena itu pemerintah menggantinya dengan penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang menyasar kepada para pekerja aktif dengan penghasilan rendah.

Kebijakan mengenai bantuan tarif listrik tersebut semula memang berupaya dapat menjangkau sebanyak lebih dari 79 juta pelanggan rumah tangga, khususnya mereka pengguna daya listrik 1.300 VA ke bawah. 

Namun ternyata realisasi teknisnya terganjal oleh adanya hambatan anggaran yang tidak dapat diproses secara tepat waktu. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa ketepatan waktu pelaksanaan menjadi hal yang krusial. Tanpa kepastian distribusi pada bulan yang direncanakan, maka secara otomatis program diskon akan kehilangan daya dorongnya bagi terwujudnya pemulihan ekonomi masyarakat.

Alih-alih terus saja memaksakan realisasi kebijakan yang sudah dirasa tidak optimal tersebut, maka pemerintah lebih memilih menjalankan pendekatan lain yang jauh lebih tajam dan terarah. 

Dana untuk menjalankan subsidi listrik tersebut kemudian dialihkan menjadi penambahan nominal BSU yang nyatanya memang sudah terbukti memiliki efektivitas lebih tinggi berdasarkan pada bagaimana pengalaman selama masa pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu yang sempat melanda Indonesia bahkan dunia. 

Dengan dukungan data BPJS Ketenagakerjaan yang kini lebih bersih, akurat, dan valid, pemerintah mengarahkan bantuan langsung kepada sekitar 17,3 juta pekerja dengan penghasilan maksimal Rp3,5 juta per bulan. Langkah ini mencerminkan strategi alokasi anggaran yang efisien dan berbasis data.

Sri Mulyani menyatakan bahwa BSU tidak hanya lebih tepat sasaran, tetapi juga memiliki daya ungkit ekonomi yang lebih kuat dibandingkan potongan tarif listrik. Pemerintah menghitung bahwa dana sebesar Rp10,72 triliun akan disalurkan dalam bentuk tunai Rp300 ribu per bulan selama dua bulan kepada para pekerja tersebut, termasuk para guru di bawah naungan Kemendikbud dan Kemenag yang juga akan menerima bantuan serupa dengan nominal yang disesuaikan.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa pelaksanaan BSU saat ini dalam tahap finalisasi data penerima. Kementerian Ketenagakerjaan bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan penyaringan agar hanya peserta aktif dengan penghasilan tertentu yang menerima bantuan. Penerima BSU dikecualikan dari kalangan ASN, TNI, dan Polri, serta diprioritaskan bagi pekerja yang belum menerima program bantuan lain seperti Program Keluarga Harapan.

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2025 menjadi payung hukum penyaluran BSU. Aturan tersebut memberikan jaminan hukum atas kebijakan yang dijalankan serta mengatur secara rinci kriteria penerima dan mekanisme penyaluran yang dilakukan sekaligus selama dua bulan. Penyederhanaan proses ini dirancang untuk mempercepat distribusi bantuan dan menurunkan potensi keterlambatan, yang selama ini menjadi persoalan umum dalam realisasi bansos.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Dr. Trubus Rahadiansah, memandang kebijakan ini sebagai respons konkret terhadap kebutuhan masyarakat kelas menengah bawah yang seringkali terpinggirkan dalam distribusi bantuan sosial reguler. 

Kelompok ini, menurutnya, mengalami tekanan ganda: tidak masuk dalam kategori miskin secara administratif namun belum cukup kuat menahan dampak inflasi dan biaya hidup yang terus meningkat.

Trubus menyoroti bahwa BSU memiliki dampak psikologis dan ekonomi yang signifikan. Meski nominal bantuan terlihat kecil, realisasinya dapat meringankan beban keluarga pekerja, mulai dari kebutuhan bahan pokok hingga biaya pendidikan. Lebih penting lagi, validitas data penerima menutup celah kebocoran yang selama ini menjadi momok dalam penyaluran bansos.

Dari sudut pandang kebijakan publik, langkah pemerintah ini menjadi cerminan strategi yang tidak sekadar populis, tetapi solutif. Kebijakan yang berorientasi pada efektivitas dan efisiensi seperti BSU memberi sinyal kuat bahwa pemerintah memilih pendekatan berbasis dampak langsung. Alih-alih menyebar bantuan secara luas namun dangkal, skema BSU menyasar kelompok strategis dengan intervensi yang lebih terkonsentrasi.

Pilihan untuk menggantikan potongan tarif listrik dengan BSU bukan sekadar soal teknis anggaran, melainkan keputusan strategis yang mencerminkan arah baru kebijakan sosial ekonomi. 

Pemerintah berupaya menghindari pendekatan subsidi konsumtif massal yang kerap tidak berdampak besar terhadap pertumbuhan atau ketahanan masyarakat. Sebaliknya, intervensi diarahkan pada titik-titik kritis yang mampu menahan daya beli, mendorong konsumsi rumah tangga, dan mendukung stabilitas sosial-ekonomi di tengah dinamika global.

Paket stimulus Juni–Juli 2025 senilai Rp24,44 triliun yang di dalamnya terdapat program BSU menjadi penanda bahwa pemerintah ingin memperkuat jaring pengaman sosial secara lebih terukur. Kebijakan ini tidak hanya relevan, tetapi juga mencerminkan kesiapan eksekusi dan kehendak politik untuk bertindak cepat dan tepat.

Ketika kebijakan publik mampu menyentuh realitas hidup masyarakat pekerja secara nyata, maka keberpihakan pemerintah tidak lagi hanya berupa retorika. Pilihan mengganti subsidi listrik dengan BSU menjadi langkah penting yang menunjukkan bahwa negara hadir secara aktif, cermat, dan strategis dalam merespons kebutuhan rakyatnya. (*)

Peneliti Ekonomi Kerakyatan – Institut Ekonomi Sejahtera