Masyarakat Tegas Tolak Teror dan Provokasi OPM

Oleh : Martha Wenda )*

Dalam perjalanan panjang menuju kesejahteraan dan stabilitas di Papua, masyarakat semakin menunjukkan sikap tegas menolak kekerasan yang selama ini mencederai kehidupan sehari-hari. Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan dan provokasi, kini semakin kehilangan pijakan dalam hati rakyat Papua sendiri. Transformasi sosial dan perubahan pola pikir masyarakat menjadi faktor utama yang melandasi penolakan tersebut.

Berkembangnya akses informasi dan pendidikan di wilayah Papua membuka ruang bagi masyarakat untuk melihat persoalan dari perspektif yang lebih rasional dan humanis. Berbeda dengan masa lalu ketika propaganda kekerasan sering dianggap sebagai jalan keluar, kini masyarakat lebih memahami bahwa kekerasan hanya menimbulkan kerugian, bukan solusi. Kesadaran tersebut menjadi modal kuat dalam menolak narasi-narasi destruktif yang selama ini diusung kelompok separatis.

Tidak hanya itu, keterlibatan aktif pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan publik membawa perubahan signifikan. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi dan harapan akan masa depan yang lebih baik mulai terasa nyata, ruang untuk ideologi kekerasan menjadi semakin sempit. Masyarakat mulai menempatkan prioritas pada kesejahteraan dan perdamaian yang berkelanjutan. Hal ini tercermin dari peningkatan partisipasi warga dalam kegiatan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup secara menyeluruh.

Keterlibatan tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam proses ini juga menjadi pilar penting. Kepemimpinan yang mengedepankan dialog dan kearifan lokal berhasil menjembatani perbedaan dan menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat. Yulianus Magai, tokoh adat dari Kabupaten Jayawijaya, menyampaikan kekecewaannya atas tindakan brutal OPM yang terus-menerus menebar ketakutan. 

Ia menyatakan bahwa masyarakat sudah sangat bosan dengan provokasi yang terus-menerus datang dari OPM, yang mengklaim perjuangan tetapi kenyataannya justru melakukan kekerasan, pembakaran, dan menimbulkan ketakutan yang tidak bisa disebut sebagai perjuangan melainkan penjajahan atas rakyat sendiri.

Contoh konkret dari proses harmonisasi ini dapat dilihat di berbagai kampung yang sebelumnya sering menjadi medan konflik. Di tempat-tempat tersebut, interaksi positif antara aparat keamanan dan warga berlangsung secara intensif dan penuh kehangatan. Kegiatan bersama, seperti ibadah bersama atau gotong royong, menjadi sarana mempererat hubungan sosial sekaligus membangun kepercayaan.

Salah satu lokasi yang mencerminkan harmoni tersebut adalah Kampung Eronggobak, Distrik Omukia. Di sana, hubungan erat terjalin antara prajurit TNI dan masyarakat setempat. Ibadah bersama yang rutin diadakan setiap hari Minggu, yang dipimpin oleh Pratu Jitro dari Satgas Yonif 700/Wira Yudha Cakti, menjadi simbol kemanunggalan dan persatuan antara aparat dan warga.

Menurut Mayjen TNI Lucky Avianto, Pangkoops Habema, kehadiran TNI di Papua tidak hanya sekadar menjalankan tugas keamanan, melainkan juga membangun relasi sosial yang harmonis. Ia menjelaskan bahwa para prajurit TNI tidak hanya bertugas menjaga kedaulatan negara, tetapi juga menjadi bagian dari keluarga besar masyarakat Papua. Kegiatan-kegiatan seperti yang berlangsung di Eronggobak tersebut menjadi bukti nyata bagaimana kasih dan persaudaraan mampu melampaui segala batas dan menyatukan semua pihak.

Keberhasilan ini tidak lepas dari pendekatan humanis yang dijalankan pemerintah dalam merangkul masyarakat Papua. Program-program pembangunan yang mengedepankan kearifan lokal dan kolaborasi antara tokoh masyarakat, tokoh agama, serta aparat keamanan terbukti efektif menekan pengaruh destruktif yang selama ini diperjuangkan oleh OPM.

Dr. Frans Makabori, pengamat politik dari Universitas Cenderawasih, memandang bahwa menurunnya pengaruh OPM merupakan hasil nyata dari transformasi sosial yang tengah berlangsung. Ia mengemukakan bahwa akses informasi, pendidikan, serta semakin kuatnya kehadiran negara melalui pembangunan membuat masyarakat Papua menjadi lebih sadar dan berpikir rasional, sehingga masyarakat tidak lagi mudah terprovokasi oleh narasi lama yang terus diulang oleh OPM.

Perubahan sikap masyarakat ini menegaskan bahwa kekerasan tidak pernah menjadi solusi bagi persoalan yang kompleks dan berakar dalam sejarah panjang. Penolakan masyarakat Papua terhadap kekerasan yang diusung oleh OPM menjadi bukti kematangan politik dan sosial masyarakat tersebut. Pilihan masyarakat yang lebih mengutamakan jalur pembangunan dan dialog dinilai sebagai sarana utama mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Dukungan luas yang kini menguat dari masyarakat terhadap perdamaian dan pembangunan memberikan harapan besar bagi masa depan Papua yang lebih baik. Upaya berkelanjutan dalam memperkuat pendidikan, membangun infrastruktur, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus terus dijaga dan dikawal.

Melihat perkembangan ini, keberhasilan menepis narasi kekerasan dan memperkuat perdamaian bukan hanya sebuah kemenangan pemerintah atau aparat keamanan, tetapi juga kemenangan masyarakat Papua itu sendiri. Masyarakat telah menunjukkan sikap kritis dan konstruktif dengan menolak kekerasan demi masa depan yang damai, harmonis, dan sejahtera.

Momentum positif ini perlu terus dijaga dengan pendekatan inklusif dan humanis yang menghormati nilai-nilai budaya serta aspirasi masyarakat. Kesadaran kolektif yang menolak kekerasan harus menjadi pondasi kuat untuk membangun Papua yang damai dan berdaya saing. Sinergi bersama antara masyarakat, tokoh adat, pemerintah, dan aparat keamanan menjadi sangat penting demi mewujudkan masa depan yang layak bagi seluruh rakyat Papua.

)* Penulis merupakan mahasiswa asal Papua di Manado