Oleh: Citra Indriani Putri )*
Gagasan Presiden Prabowo Subianto dalam membentuk Apotek Desa melalui skema Koperasi Merah Putih berhasil menarik dukungan secara luas dari berbagai pihak. Dukungan tersebut bukan hanya sebagai bentuk apresiasi terhadap visi Kepala Negara dalam memperluas akses pasa layanan kesehatan saja, tetapi juga sebagai langkah konkret untuk terus memperkuat peran para apoteker dalam sistem pelayanan primer, khususnya di wilayah pedesaan dan kelurahan.
Program Apotek Desa secara resmi tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Inpres tersebut menetapkan bahwa koperasi desa akan menjalankan sejumlah kegiatan strategis, salah satunya adalah pendirian Apotek Desa/Kelurahan yang tersebar di lebih dari 80.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam membangun layanan kesehatan yang jauh lebih merata dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, terutama mereka yang berada jauh dari fasilitas kesehatan konvensional dan berada di wilayah terpencil hingga pelosok sekalipun.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), apt. Noffendri Roestam, menyambut baik gagasan tersebut. Menurutnya, Apotek Desa mampu menjadi jembatan penting dalam menghadirkan pelayanan farmasi yang berkualitas dan terjangkau langsung ke tingkat desa. Ia menilai ide itu sebagai langkah brilian yang secara langsung menjawab kebutuhan mendesak masyarakat pedesaan terhadap akses obat yang aman, legal, dan terkendali.
Pihak IAI secara strategis mengarahkan perhatiannya pada aspek implementasi program tersebut. Apt. Noffendri menekankan pentingnya tata kelola yang baik agar pelaksanaan Apotek Desa tidak berhenti pada wacana atau pembangunan fisik semata, tetapi benar-benar berfungsi secara optimal dan berkelanjutan. Ia mengingatkan bahwa setiap inisiatif yang tidak ditopang oleh manajemen yang matang berisiko mangkrak di tengah jalan.
Dalam upaya mendukung efektivitas program, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menegaskan bahwa regulasi baru tidak diperlukan. Pemerintah cukup mengintegrasikan infrastruktur yang sudah ada, seperti lebih dari 54.000 sarana kesehatan yang mencakup puskesmas, puskesmas pembantu, dan posyandu. Pendekatan ini dinilai cerdas karena mempercepat implementasi sekaligus meminimalkan kebutuhan investasi tambahan di awal.
Sebagai tindak lanjut, IAI siap menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten, yaitu tenaga apoteker yang akan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan Apotek Desa. Apt. Noffendri menilai bahwa keterlibatan apoteker dalam program tersebut menjadi elemen kunci dalam menjamin mutu pelayanan dan keamanan penggunaan obat.
Hal serupa diungkapkan apt. Maria Ulfah, Ketua Hisfarkesmas (Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat) PP IAI. Ia menilai langkah Presiden Prabowo untuk menambah jumlah apoteker di puskesmas sebagai angin segar dan momen penting dalam memperkuat sistem farmasi di lini pelayanan dasar.
Berdasarkan riset yang dilakukan Hisfarkesmas tahun 2023, dari total 10.300 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya sekitar 68% yang memiliki apoteker. Sisanya masih diisi oleh Tenaga Vokasi Farmasi (TVF) atau tenaga kesehatan lain yang belum memiliki kompetensi setara apoteker.
Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri, terutama mengingat tanggung jawab apoteker di puskesmas dan apotek desa tidak sekadar menjual obat, tetapi juga menyusun rencana keuangan, mengelola pengadaan obat yang telah menggunakan sistem e-katalog versi 6, hingga menjamin pelayanan farmasi sesuai standar.
Apt. Maria menekankan bahwa hanya apoteker yang memiliki kapasitas untuk menjalankan tanggung jawab sebesar itu. Dalam pandangannya, Apotek Desa/Kelurahan nantinya seharusnya dipimpin oleh apoteker yang didukung oleh TVF sebagai tenaga pendamping. Ia menyebut bahwa kerja apoteker tidak bisa dilakukan secara mandiri, tetapi membutuhkan dukungan sistematis dari tim yang memahami prosedur farmasi dengan baik.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Halal dan JKN IAI, Dr. apt. Abdul Rahem, memberikan perspektif yang lebih konseptual. Ia menyoroti perlunya kejelasan bentuk dan fungsi Apotek Desa/Kelurahan sebelum diterapkan secara nasional.
Menurutnya, apotek tidak boleh diperlakukan seperti toko obat biasa. Ia mengingatkan bahwa apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian yang harus berada di bawah tanggung jawab langsung apoteker sesuai regulasi yang berlaku.
Lebih jauh, apt. Abdul Rahem menjelaskan bahwa Apotek Desa harus memainkan peran ganda: sebagai penyedia obat yang terjamin keamanannya dan sebagai pusat edukasi bagi masyarakat dalam penggunaan obat yang rasional serta upaya pencegahan penyakit. Dengan posisi tersebut, Apotek Desa memiliki potensi besar dalam mendukung ketahanan kesehatan masyarakat desa secara menyeluruh.
Ketiga tokoh farmasi nasional tersebut menyampaikan keyakinan bahwa gagasan Apotek Desa dari Presiden Prabowo merupakan sebuah terobosan besar dalam reformasi layanan kesehatan berbasis komunitas.
Namun, mereka juga mengingatkan bahwa kesuksesan program ini sangat bergantung pada keterlibatan semua pemangku kepentingan, mulai dari tenaga farmasi, pemerintah daerah, hingga masyarakat itu sendiri.
Bila dilaksanakan dengan komitmen penuh dan koordinasi yang solid, Apotek Desa berpeluang menjadi wajah baru pelayanan farmasi yang lebih humanis, inklusif, dan menjangkau seluruh pelosok negeri.
Presiden Prabowo telah menetapkan arah kebijakan yang progresif; kini tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa gagasan tersebut benar-benar memberikan manfaat nyata dan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia. (*)
)* penulis adalah Pengamat Kebijakan Sosial – Lembaga Sosial Madani Institute