Penghapusan Outsourcing Dianggap Solusi Permanen Atasi Upah Minimum

Oleh: Ira Lailatul )*

Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan keberpihakannya terhadap kesejahteraan pekerja melalui kebijakan strategis yang kini tengah digodok: penghapusan sistem outsourcing. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, langkah ini tidak hanya merepresentasikan tekad politik untuk menyejahterakan buruh, tetapi juga menjadi jawaban atas permasalahan laten yang selama bertahun-tahun melekat pada sistem ketenagakerjaan nasional, salah satunya terkait isu upah minimum yang tak kunjung mencapai keadilan.

Presiden Prabowo dalam peringatan Hari Buruh Internasional menyampaikan komitmennya untuk segera membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Pembentukan dewan ini bukan sekadar simbol, tetapi sebuah instrumen penting untuk mendorong perubahan sistemik dalam perlindungan hak-hak pekerja. Kehadiran tokoh-tokoh buruh dalam dewan tersebut menjadi representasi nyata bahwa negara membuka ruang partisipasi luas dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih berpihak.

Salah satu agenda utama dewan tersebut adalah mengkaji mekanisme transisi menuju penghapusan sistem outsourcing. Langkah ini dinilai sebagai jalan keluar yang tepat dan jangka panjang dalam mengatasi praktik pengupahan minimum yang stagnan. Dengan dihapusnya outsourcing, perusahaan dituntut untuk mengangkat tenaga kerja alih daya sebagai pegawai tetap, yang secara otomatis membuka peluang peningkatan kesejahteraan. Dalam status sebagai karyawan tetap, pekerja memiliki akses yang lebih baik terhadap upah yang sesuai, jaminan sosial, serta perlindungan hukum yang lebih kuat.

Hal ini turut dikuatkan oleh penilaian dari kalangan pengamat ekonomi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, memandang bahwa kebijakan ini akan mendorong perusahaan untuk memberikan kepastian kerja yang lebih besar bagi tenaga alih daya. Menurutnya, ketika status kerja berubah menjadi permanen, maka perusahaan berkewajiban menaati seluruh ketentuan terkait ketenagakerjaan, termasuk pemberian upah yang sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) serta asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja. Situasi ini tentu akan membawa dampak signifikan terhadap taraf hidup pekerja, yang selama ini berada di bawah bayang-bayang sistem outsourcing yang tidak menentu.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa penghapusan sistem alih daya secara langsung akan memengaruhi struktur biaya perusahaan. Namun dalam konteks kebijakan negara, pilihan untuk berpihak pada kesejahteraan rakyat adalah keharusan konstitusional, bukan sekadar kalkulasi ekonomi semata. Pemerintah secara terbuka menyatakan bahwa setiap langkah akan dilakukan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan iklim investasi. Namun, ini bukan alasan untuk membiarkan praktik ketenagakerjaan yang tidak adil terus berlangsung.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli juga menegaskan bahwa praktik outsourcing selama ini menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Ia menyampaikan bahwa banyak pekerja yang telah memasuki usia produktif akhir masih berada dalam status alih daya, tanpa jenjang karir yang jelas dan dengan upah yang tak pernah bergerak dari batas minimum. Bahkan dalam beberapa kasus, realisasi gaji justru lebih rendah dari kontrak yang tercantum. Situasi ini menunjukkan bahwa sistem outsourcing telah menjadi sumber ketidakadilan yang sistemik.

Dengan penghapusan outsourcing, pekerja tidak lagi diposisikan sebagai elemen fleksibel dalam proses produksi yang bisa dilepas pasang sesuai kebutuhan. Sebaliknya, mereka akan dipandang sebagai aset jangka panjang perusahaan, yang berhak atas kompensasi layak, jaminan sosial, serta stabilitas kerja yang memadai. Ini akan menciptakan hubungan industrial yang lebih sehat, di mana produktivitas tidak lagi dibangun di atas pengorbanan kesejahteraan tenaga kerja.

Pemerintah tidak hanya berhenti pada narasi, tetapi telah menyusun langkah-langkah konkret untuk mendukung transformasi ini. Selain pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh, Presiden Prabowo juga mengumumkan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai langkah antisipatif terhadap kemungkinan dampak peralihan sistem ketenagakerjaan. Satgas ini akan memastikan tidak terjadi PHK sepihak yang merugikan pekerja dalam proses transisi tersebut.

Menaker Yassierli menyampaikan bahwa seluruh kebijakan terkait penghapusan outsourcing akan berpijak pada konstitusi. Ia menyebutkan bahwa Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan perlakuan adil dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memastikan bahwa setiap kebijakan ketenagakerjaan sejalan dengan semangat tersebut.

Saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan tengah menyiapkan rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lebih berkeadilan, yang diharapkan akan memperkuat kerangka hukum bagi penghapusan outsourcing. Dengan pendekatan yang inklusif dan bertahap, pemerintah ingin memastikan bahwa reformasi ini tidak hanya terjadi di atas kertas, tetapi benar-benar terlaksana di lapangan.

Penghapusan sistem outsourcing pada akhirnya bukan hanya sebuah kebijakan teknokratis, tetapi merupakan keputusan strategis yang mencerminkan komitmen negara dalam membangun ekonomi yang berkeadilan. Ketika pekerja mendapat perlindungan, jaminan sosial, dan kepastian upah yang layak, maka perekonomian akan tumbuh secara lebih sehat dan berkelanjutan.

Dengan semangat ini, Indonesia menatap masa depan ketenagakerjaan yang lebih manusiawi dan beradab. Di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto, negara menunjukkan bahwa ia hadir untuk memastikan keadilan bukan hanya menjadi janji, tetapi sebuah kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat pekerja.

)* Analisis Kebijakan Publik