Oleh: Dina Wahyuni )*
Langkah pemerintah untuk menghapus sistem outsourcing tenaga kerja menjadi wujud nyata keberpihakan negara terhadap kesejahteraan para pekerja. Melalui kebijakan yang dirancang secara bertahap dan penuh kehati-hatian, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berupaya menjawab aspirasi yang telah lama disuarakan oleh berbagai kalangan buruh. Penghapusan sistem outsourcing, terutama yang melibatkan tenaga kerja melalui agen, dianggap sebagai koreksi struktural atas praktik ketenagakerjaan yang selama ini dinilai merugikan pekerja.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyampaikan bahwa pemerintah menyadari dampak negatif dari sistem alih daya yang tak terkontrol. Banyak pekerja yang telah mengabdi bertahun-tahun tetap berstatus kontrak, tanpa kejelasan karir, dan hanya menerima upah minimum. Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem tersebut menutup ruang bagi pekerja untuk berkembang, memperoleh perlindungan sosial yang memadai, dan menikmati hasil kerja secara adil. Dalam kondisi demikian, negara wajib hadir bukan hanya sebagai penengah, tetapi juga sebagai pelindung hak-hak dasar rakyat pekerja.
Presiden Prabowo menunjukkan kepemimpinan responsif dengan menangkap kegelisahan buruh dari berbagai sektor, termasuk yang disuarakan oleh pimpinan serikat pekerja. Arahan kepala negara agar praktik outsourcing yang tidak berpihak pada buruh dihapuskan, kini menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih manusiawi. Menteri Yassierli menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan dituangkan dalam regulasi resmi, termasuk dalam bentuk peraturan menteri sebagai tindak lanjut dari amanat konstitusi.
Langkah ini tidak diambil secara tergesa. Pemerintah tengah melakukan kajian komprehensif untuk memastikan penghapusan outsourcing dilakukan secara realistis dan bertanggung jawab. Pendekatan tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa negara tidak menutup mata terhadap tantangan yang mungkin dihadapi pelaku usaha, namun tetap menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas utama.
Konstitusi Indonesia menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja dan memperoleh perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, segala bentuk praktik kerja yang menciptakan ketidakpastian dan diskriminasi harus dihapuskan. Dalam konteks ini, sistem outsourcing melalui agen perekrutan kerap menjadi sumber ketidakpastian tersebut, karena memperlakukan tenaga kerja sebagai komoditas alih-alih subjek yang memiliki hak.
Pendekatan baru yang diambil pemerintah juga mendapat apresiasi dari kalangan pengamat ekonomi. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai bahwa kebijakan penghapusan outsourcing dapat memberikan kepastian status kerja bagi para tenaga alih daya. Ia menilai bahwa perusahaan akan terdorong untuk mengangkat pekerja menjadi karyawan tetap, yang berarti adanya kepastian penghasilan, perlindungan jaminan sosial, dan akses terhadap hak-hak normatif lainnya.
Meskipun ada kemungkinan bahwa sejumlah perusahaan akan menghadapi tantangan dalam penyesuaian kebijakan ini, terutama dari sisi beban biaya, pemerintah diyakini akan menciptakan ruang dialog yang konstruktif untuk menyelaraskan kepentingan antara dunia usaha dan pekerja. Komitmen untuk menyediakan jaminan sosial yang layak serta perlindungan hukum yang jelas akan memperkuat posisi pekerja dalam sistem ketenagakerjaan nasional yang berkeadilan.
Kebijakan ini juga menjadi bentuk penegasan bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan kapitalis semata, melainkan berpihak kepada masyarakat pekerja sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dukungan luas dari kalangan buruh pun menguatkan legitimasi langkah ini. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dalam berbagai forum menyampaikan keyakinan bahwa Presiden Prabowo menunjukkan keberpihakan nyata terhadap rakyat kecil, termasuk guru, petani, dan buruh. Keyakinan ini muncul seiring dengan janji Presiden pada Hari Buruh 2025 yang menegaskan komitmennya terhadap penghapusan outsourcing.
Salah satu poin penting dalam kebijakan ini adalah pembeda antara praktik alih daya pekerjaan dan alih daya tenaga kerja melalui agen. Pemerintah tidak menutup kemungkinan bagi perusahaan untuk menyerahkan sebagian proses produksi kepada pihak ketiga, seperti pembuatan komponen atau jasa tertentu. Namun, praktik pengalihan pekerja melalui agen yang kemudian tidak diberikan hak dan perlindungan yang semestinya, harus dihentikan. Pemerintah pun menaruh perhatian terhadap bentuk penyamaran outsourcingdalam wujud program pemagangan atau kemitraan yang seringkali dimanfaatkan untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan.
Dengan penghapusan outsourcing tenaga kerja melalui agen, para pekerja tidak lagi berada dalam posisi rawan pemutusan hubungan kerja sepihak dan tanpa jaminan. Mereka akan mendapatkan kepastian kerja, jaminan sosial, perlindungan terhadap kecelakaan kerja, serta hak atas kesejahteraan yang lebih adil. Ini merupakan bentuk nyata dari tekad pemerintah dalam menjadikan pembangunan ekonomi sebagai sarana peningkatan kualitas hidup seluruh rakyat, bukan segelintir pihak saja.
Kebijakan ini bukan hanya memperbaiki struktur ketenagakerjaan nasional, tetapi juga menjadi fondasi untuk membangun hubungan industrial yang sehat. Pemerintah menyadari bahwa perekonomian yang kuat hanya dapat dicapai apabila dunia usaha dan pekerja berjalan seiring dalam iklim kerja yang saling menghargai dan berkeadilan.
Dengan semangat reformasi ketenagakerjaan yang tengah digulirkan, Indonesia melangkah ke arah sistem kerja yang lebih manusiawi. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, negara kembali menegaskan bahwa dalam setiap kebijakan, kepentingan rakyat, khususnya kaum pekerja akan selalu menjadi pijakan utama.
)* Pengamat Kebijakan Publik