Waspada Provokasi “Indonesia Gelap”, Salurkan Kritik Sesuai Mekanisme Hukum

Jakarta – Isu “Indonesia gelap” belakangan mengemuka di berbagai platform, hingga menyulut kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, bersama Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Dr. Aditya Perdana, menolak narasi tersebut dengan pendekatan yang lebih dewasa dan solutif. Keduanya menekankan bahwa kritik harus dikelola secara terstruktur agar tidak menjadi bahan provokasi.

Cucun membuka diskusi dengan menekankan pentingnya mekanisme resmi dalam menyalurkan kritik.

“Semua ini pemerintah lagi bekerja,” ujarnya, merujuk pada pelaksanaan program strategis di bidang infrastruktur, ketahanan pangan, dan reformasi birokrasi.

Ia mengingatkan bahwa hak interpelasi dan rapat dengar pendapat di DPR RI tersedia untuk menampung aspirasi, sehingga wacana pemakzulan yang muncul di media sosial menjadi tidak relevan.

“Sikap terbuka Presiden Prabowo terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak menunjukkan komitmen kuat pada prinsip demokrasi deliberatif yang patut diapresiasi,” terang Aditya Perdana.

Menurutnya, keberanian pemerintah mengakui kelemahan komunikasi publik merupakan bukti kedewasaan politik.

“Pengakuan Presiden atas kelemahan komunikasi publik pemerintah merupakan bentuk kedewasaan politik, dengan komitmen untuk terus mengevaluasi dan menyempurnakan strategi komunikasi bersama jajaran kabinet,” tambahnya.

Aditya menilai, miskomunikasi antara pemerintah dan publik sering kali memicu narasi negatif. Oleh karena itu, ia mendorong evaluasi berkelanjutan terhadap cara penyampaian pesan kebijakan agar mencapai semua lapisan masyarakat, termasuk di daerah terpencil. Kolaborasi dengan media dan akademisi, kata Aditya, akan meminimalkan misinformasi dan hoaks.

Keduanya sepakat bahwa tantangan ekonomi dan sosial harus dibicarakan secara transparan. Cucun memastikan DPR akan membentuk panitia kerja untuk memonitor realisasi program prioritas, sedangkan Aditya mendorong penyelenggaraan diskusi publik agar masyarakat bisa menyalurkan kritik secara konstruktif.

Dengan sinergi legislatif, eksekutif, dan akademisi, diharapkan narasi pesimisme dapat diubah menjadi semangat kolektif untuk mempercepat pembangunan nasional. []