Oleh: Latea Latra *)
Di persimpangan antara harapan kolektif dan wacana pesimisme, narasi ‘Indonesia Gelap’ mencuat sebagai upaya agitasi psikologis yang menyesatkan publik. Klaim ini bukan sekadar kritik atas kebijakan, melainkan skema propaganda terselubung untuk menimbulkan ketakutan masal dan menggoyang stabilitas negara. Pemerintah dan sejumlah akademisi telah mewanti-wanti akan bahaya narasi ini, yang tidak sejalan dengan realitas empiris di lapangan.
Masyarakat tidak perlu terpancing oleh narasi demikian karena kondisi objektif menunjukkan stabilitas sosial-ekonomi. Aktivitas ekonomi kini masih cenderung berjalan normal, pusat perbelanjaan tetap ramai, dan daya beli masyarakat terjaga, bukti situasi nasional masih aman dan terkendali.
Fakta memperkuat bantahan terhadap pesimisme ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kondisi perekonomian Indonesia masih kuat. Airlangga menjelaskan bahwa hal ini didasari oleh pertumbuhan ekonomi, konsumsi, dan kredit, hingga inflasi yang rendah. Sekadar catatan, perekonomian Indonesia masih mengalami pertumbuhan sebesar 4,87% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal I-2025.
Dari sudut keamanan sosial, Wakil Menteri Agama Romo HR Muhammad Syafi’i menyoroti bahwa narasi ‘Indonesia Gelap’ disebar bak senjata psikologis demi membangun opini manipulatif. Ia mendesak kewaspadaan kolektif agar masyarakat, terutama generasi muda, tidak terprovokasi oleh doktrin pemecah belah. Literasi kritis dan dialog terbuka mutlak diperlukan untuk mematahkan dominasi wacana destruktif.
Apalagi, gerakan ini diperkirakan turut menimbulkan demonstrasi tanpa dasar substantif. Romo Syafi’i menegaskan bahwa jika ditinjau secara objektif, Indonesia sedang menunjukkan kemajuan di banyak sektor, termasuk investasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur. Kesalahan persepsi dapat membuat warga merasa tak berdaya dan terasing dari hasil pembangunan—padahal, mereka justru menjadi penerima manfaat program-program pro-rakyat.
Ketua Umum GP Ansor Addin Jauharudin menambahkan bahwa narasi ‘Indonesia Gelap’ berpotensi diorkestrasi oleh kepentingan asing yang ingin menghambat kebangkitan Indonesia. Ia menyatakan ketika Indonesia bangkit, pihak asing selalu berusaha dengan segala cara untuk menghambatnya. Maka bangsa ini harus sadar bahwa isu ini bukan muncul secara organik dari rakyat, tapi sarat rekayasa pihak luar. Penyusupan ideologi asing melalui agenda terselubung, menuntut kewaspadaan nasional.
Peringatan serupa datang dari Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal, yang menekankan bahwa risiko konflik horizontal akan meningkat jika gerakan “Indonesia Gelap” dibiarkan tumbuh tanpa kendali. Cucun menyoroti bagaimana narasi pesimistis ini dapat dimanipulasi oleh aktor yang memiliki kepentingan tersembunyi—baik politikus oportunis, kelompok kepentingan ekonomi, maupun kekuatan luar—untuk menggoyang kepercayaan publik. Ketika warga mulai skeptis terhadap upaya pemerintah dan meragukan setiap program pembangunan, perpecahan identitas kerap muncul: siapa di pihak pembaharu versus siapa yang merasa diabaikan, yang pada akhirnya dapat memicu gesekan antarwilayah, kelompok etnis, atau sektoral.
Dalam kerangka teori konflik, retorika pesimis memainkan peran katalis yang memancing pertentangan kelompok dan memperlebar jurang sosial. Ketika wacana publik diracuni dengan ketakutan massal, solidaritas yang dibangun atas dasar nilai bersama—seperti gotong-royong dan Pancasila—mudah terkikis. Konflik horizontal yang semula bersifat minor dapat melebar, memicu demonstrasi yang tidak terarah, vandalisme, hingga gangguan terhadap infrastruktur kritis. Alih-alih berfokus pada solusi kolektif, tenaga nasional terpecah untuk membela narasi yang pada hakikatnya merugikan stabilitas dan menghalangi proses pembangunan yang sudah menunjukkan hasil nyata.
Apa sebab narasi ini merasuk ke benak banyak orang? Manusia modern memang rentan mengalami destruksi makna ketika arus informasi tidak terfilter dan terfragmentasi. Dalam kondisi tersebut, individu kehilangan pegangan nilai yang kuat, sehingga mudah terombang-ambing antara fakta dan sensasi. Narasi ‘Indonesia Gelap’ memanfaatkan kecemasan kolektif ini dengan menyajikan kegelapan sebagai alternatif kebenaran, memancing emosi negatif dan menutupi bukti kemajuan yang sebenarnya ada.
Untuk memulihkan makna kolektif dan memperkuat fondasi kebangsaan, maka harus kembali pada data objektif dan narasi konstruktif tentang kemajuan nasional. Mengedepankan laporan resmi—seperti data pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial—membantu menegakkan kebenaran pragmatis. Sementara itu, berdialog secara rasional dan kritis akan membangun narasi positif yang meneguhkan semangat persatuan dan optimisme, menggantikan bayang-bayang pesimisme dengan bukti nyata kemajuan bersama.
Penting diingat bahwa ketahanan nasional tidak diukur di arena militer semata, melainkan juga di bidang wacana, seberapa kuat bangsa menyaring provokasi dan mempertahankan solidaritas. Sebagaimana Pancasila menjunjung persatuan dalam keberagaman, bangsa ini wajib menolak narasi pesimistis yang memecah belah, serta merangkul optimisme yang dibangun atas kerja keras bersama. Dengan menolak ‘Indonesia Gelap’, bersamaan pula mengukuhkan keyakinan bahwa Indonesia terus bergerak maju dalam sinar kemajuan—meski tantangan selalu hadir, cahaya kebenaran dan kebersamaan akan selalu menang atas gelapnya propaganda.
*) Penulis merupakan pemerhati isu keamanan dan pertahanan