Mewaspadai Kepentingan Politik di Balik Aksi Indonesia Gelap

Oleh: Nancy Mayesi 

Dalam beberapa waktu terakhir, ruang digital dan jalanan Indonesia diramaikan oleh aksi bertajuk “Indonesia Gelap”. Gerakan ini memicu perhatian publik, terutama dari kalangan generasi muda yang semakin sadar terhadap isu sosial dan politik. Munculnya gerakan protes semacam ini tentu menjadi indikator hidupnya demokrasi, di mana kebebasan berekspresi dan aspirasi tetap terjaga. Namun, di balik semangat yang tampak idealistik, terdapat kekhawatiran serius tentang kemungkinan adanya kepentingan politik yang menunggangi gerakan ini.

Fenomena penunggang gerakan sosial bukanlah hal baru dalam konteks demokrasi Indonesia. Sejarah mencatat bahwa keresahan publik kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mendorong agenda politik mereka. Gerakan Indonesia Gelap pun tidak kebal terhadap potensi tersebut. Ketika narasi yang diangkat mulai bergeser dari isu substansial menjadi serangan terhadap figur politik tertentu atau lembaga negara tanpa dasar fakta yang kuat, maka patut dipertanyakan keaslian dari semangat perjuangan itu sendiri. Pergeseran fokus ini dapat menyesatkan publik, mengaburkan isu utama yang diperjuangkan, bahkan menciptakan ketegangan sosial yang tidak perlu.

Salah satu tanda awal bahwa gerakan mulai kehilangan arah adalah ketika tujuan utama menjadi kabur. Misalnya, jika tuntutan awal berkaitan dengan transparansi energi atau kebijakan lingkungan, namun dalam perkembangannya justru berubah menjadi kampanye anti-pemerintah yang tidak proporsional, maka patut dicurigai adanya infiltrasi kepentingan politik. Pergeseran seperti ini tidak hanya merugikan agenda perjuangan awal, tetapi juga dapat menimbulkan polarisasi dan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Masyarakat tidak perlu terpancing oleh narasi provokatif yang digaungkan lewat gerakan Indonesia Gelap. Sebab aktivitas ekonomi berjalan normal daya beli masyarakat terjaga. Ini menandakan bahwa narasi “Indonesia Gelap” tidak mencerminkan kenyataan faktual, melainkan lebih sebagai upaya membentuk persepsi negatif yang tidak berdasar.

Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat kini dihadapkan pada tantangan besar dalam memilah fakta dari propaganda. Media sosial, yang semestinya menjadi ruang diskusi terbuka, kerap disalahgunakan untuk menyebarkan potongan video atau narasi viral yang tidak melalui verifikasi. Akibatnya, opini publik mudah terbentuk tanpa pemahaman menyeluruh terhadap konteks isu. Banyak individu, khususnya anak muda, tergoda ikut serta dalam aksi atau mendukung gerakan hanya karena terpapar konten yang emosional, bukan analisis yang rasional.

Dalam konteks ini, penting diingat bahwa demokrasi tidak hanya menuntut kebebasan berbicara, tetapi juga tanggung jawab dalam menyampaikan pendapat. Aksi sosial yang berlandaskan data dan semangat konstruktif sangat dibutuhkan. Namun jika semangat tersebut dibajak untuk kepentingan politik jangka pendek, maka kepercayaan publik terhadap proses demokrasi akan tercoreng. Yang dirugikan bukan hanya pemerintah, tetapi juga rakyat, yang kehilangan ruang aspirasi yang sehat dan solutif.

Ketua Umum Pengurus Pusat Tunas Indonesia Raya (PP TIDAR), Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, menyampaikan bahwa narasi Indonesia Gelap disuarakan oleh kelompok-kelompok yang tidak senang dengan pemerintahan saat ini. Ia mengajak pemuda Indonesia untuk tetap berpikir kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh narasi pesimistis yang bisa menggerus semangat kebangsaan. Kebijakan pemerintah, menurutnya, telah melalui proses panjang dan masukan para ahli. Dalam jangka panjang, langkah-langkah strategis ini diyakini akan membawa Indonesia menuju visi besar Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, generasi muda perlu tetap memberikan kontribusi positif sesuai bidang masing-masing, bukan justru terseret dalam permainan politik pihak tertentu.

Di tengah meningkatnya tensi sosial akibat agitasi gerakan semacam ini, peran media, akademisi, dan tokoh masyarakat menjadi sangat penting. Mereka harus menjadi garda depan dalam menjaga netralitas ruang publik, memverifikasi informasi, dan memberikan edukasi politik kepada masyarakat luas. Tanpa keterlibatan aktif dari kelompok penyeimbang ini, ruang diskusi publik akan mudah dikuasai oleh kelompok dengan agenda tersembunyi.

Gerakan sosial memang sah dan perlu sebagai mekanisme koreksi terhadap kebijakan publik. Namun, gerakan tersebut harus menjaga kemurniannya dari infiltrasi ambisi politik yang manipulatif. Hanya dengan komitmen terhadap transparansi, etika, dan literasi politik, maka gerakan semacam Indonesia Gelap dapat berkontribusi bagi kemajuan bangsa, bukan sebaliknya menjadi alat penghancur kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Oleh karena itu, masyarakat harus cermat dan tidak terjebak dalam euforia protes yang tidak jelas arahnya. Apresiasi terhadap semangat perubahan tetap penting, tetapi kewaspadaan terhadap potensi penunggangan politik jauh lebih mendesak. Indonesia membutuhkan gerakan rakyat yang murni, bukan gerakan yang dikendalikan oleh elite politik untuk kepentingan sesaat.

Dengan tetap menjunjung nilai demokrasi yang sehat, masyarakat dapat menyuarakan aspirasi tanpa harus terjebak dalam permainan narasi yang menyesatkan. Melalui sikap kritis dan tanggung jawab kolektif, setiap aksi sosial dapat diarahkan menjadi kekuatan transformasi yang sesungguhnya, bukan sekadar gema politik yang penuh kepentingan.

*Penulis adalah Peneliti Bidang Politik dan Media