Oleh: Mayangsari Nindi )*
Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi momok bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Meski telah ditemukan ribuan tahun lalu dan obatnya tersedia secara luas, TBC tetap menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini menuntut upaya yang tidak biasa, luar biasa. Diperlukan strategi sistematis dan kolaboratif dalam pemberantasan TBC agar visi Indonesia Emas 2045 tidak terganggu oleh masalah kesehatan yang seharusnya sudah dapat dikendalikan secara efektif.
Dalam konteks ini, peluncuran program Desa Siaga TBC oleh Kementerian Kesehatan pada 9 Mei 2025 menjadi langkah penting yang layak diapresiasi sekaligus didorong implementasinya hingga akar rumput. Desa Siaga TBC bukan hanya program sektoral, melainkan gerakan nasional yang menggugah semangat gotong royong masyarakat dalam melawan TBC. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa penyakit ini, meski mematikan, sangat bisa disembuhkan jika dideteksi dan ditangani sejak dini.
Dalam hitungan statistik, satu juta penduduk Indonesia terinfeksi TBC setiap tahun, dan 125 ribu di antaranya meninggal dunia. Ini setara dengan satu kematian setiap empat menit. Angka ini bukan sekadar data medis, tetapi potret nyata dari lemahnya deteksi dini, kesadaran masyarakat, dan kendala struktural pelayanan kesehatan. Maka dari itu, program ini tak berhenti di tataran simbolik.
Menkes memberikan tiga instruksi utama yang menjadi arah kebijakan Desa Siaga TBC. Pertama, menemukan seluruh pasien TBC di masyarakat hingga target satu juta kasus dapat teridentifikasi. Kedua, memberikan pengobatan langsung tanpa penundaan agar penularan dapat dihentikan secara cepat. Ketiga, memastikan keberlangsungan pengobatan sampai tuntas untuk mencegah resistensi obat. Ketiga pilar ini adalah landasan logis dan praktis yang harus diterjemahkan secara konkret oleh para kader kesehatan, perangkat desa, hingga keluarga pasien.
Presiden Prabowo Subianto melalui Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Hasbi, menegaskan bahwa pembangunan sumber daya manusia adalah prioritas utama menuju Indonesia Emas. Oleh karena itu, kesehatan menjadi pilar fundamental yang tidak dapat ditawar. Cek kesehatan gratis, pembangunan rumah sakit, dan pemberantasan TBC adalah tiga fokus nasional yang hanya dapat tercapai dengan kerja sama lintas sektor dan partisipasi publik. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat memahami urgensi TBC bukan semata dari sudut pandang medis, tetapi sebagai tantangan kebijakan yang berdampak pada produktivitas, ekonomi, dan kualitas generasi mendatang.
Dalam pelaksanaan teknisnya, peran daerah menjadi sangat vital. Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Tanpa kolaborasi yang erat, pengendalian TBC hanya akan menjadi jargon. Komitmen dan alokasi anggaran di tingkat desa dan kelurahan menjadi indikator keberhasilan implementasi program ini. Artinya, tanggung jawab melawan TBC tidak dapat ditumpukan pada sektor kesehatan saja, tetapi harus menjadi gerakan lintas kementerian dan lintas tingkatan pemerintahan.
Dukungan dari Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal juga menjadi sinyal positif dalam gerakan ini. Wakil Menteri Ahmad Riza Patria mengungkapkan bahwa dana desa sebesar Rp400 juta hingga Rp1 miliar per tahun sebagian dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan TBC dan stunting. Ini membuka peluang besar bagi desa untuk berinovasi dalam menciptakan ekosistem sehat dan tangguh. Usulan program serupa di wilayah kelurahan juga perlu segera disusun untuk memastikan pemerataan layanan dan deteksi dini.
Yang tak kalah penting adalah perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar pasien TBC. Mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari memberikan masukan berharga bahwa program Desa Siaga TBC akan lebih efektif jika disertai dengan pemberian makanan bergizi secara gratis dan perbaikan lingkungan tempat tinggal pasien. Masukan ini sangat relevan, mengingat bahwa proses penyembuhan pasien TBC sangat bergantung pada asupan nutrisi dan kondisi lingkungan. Pemberian obat saja tidak cukup. Tanpa intervensi pada aspek gizi dan sanitasi, pasien akan sulit pulih total dan berisiko menjadi sumber penularan ulang.
Pemberantasan TBC bukan hanya soal menyembuhkan yang sakit, tetapi juga membangun sistem kesehatan masyarakat yang tangguh. Gerakan Bersama Penguatan Desa dan Kelurahan Siaga TBC yang telah diluncurkan secara nasional harus menjadi pemantik bagi semua elemen bangsa untuk ambil bagian. RT, RW, Puskesmas, organisasi masyarakat, dan tokoh agama memiliki peran strategis dalam menyosialisasikan pentingnya deteksi dini, pengobatan tuntas, serta pengawasan komunitas.
Semangat siaga TBC sejatinya adalah semangat menjaga masa depan bangsa. Jika generasi hari ini tumbuh dalam kondisi kesehatan yang buruk karena TBC, maka daya saing nasional di masa depan akan terganggu. Oleh karena itu, setiap upaya pemberantasan TBC adalah investasi strategis bagi ketahanan nasional. Tidak ada tempat bagi TBC di negeri yang ingin menjadi kekuatan besar pada 2045. Penanganan TBC yang serius, terintegrasi, dan partisipatif akan menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan kesehatan nasional.
Pemerintah telah membuka jalan dengan kebijakan progresif. Sekarang saatnya masyarakat ikut bergerak, menjadikan desa dan kelurahan sebagai garda terdepan dalam perang melawan TBC.
)* Penulis adalah Pengamat Kesehatan