“Propaganda Angka ala Sebby Sambom: Mitos ‘3 Korban’ di Tengah 18 Nyawa”

Sejak kontak tembak berlangsung pada 13–14 Mei 2025 di 5 kampung wilayah Kabupaten Intan Jaya, yakni Titigi, Ndugusiga, Jaindapa, Sugapa Lama, dan Zanamba. TNI melalui Satgas Media Koops Habema membeberkan data bahwa sebanyak 18 anggota OPM tewas dan puluhan barang bukti berhasil diamankan, mulai dari AK-47 organik, senjata rakitan, puluhan butir amunisi, busur-panah, hingga bendera “bintang kejora”. Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono bahkan menegaskan operasi tersebut bukanlah aksi semena-mena, melainkan upaya profesional untuk mensterilkan wilayah dan menjamin keselamatan masyarakat Papua.

Namun, di belahan lain medan informasi, pihak yang mengaku juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom kembali menunjukkan kejahatannya sebagai “sutradara” kontra-propaganda. Dalam siaran persnya, dirinya menegaskan hanya 3 anggota yang gugur, lalu melabeli sisanya sebagai warga sipil yang “tidur saat ditembak” sebuah klaim luar biasa yang sampai hari ini tak pernah didukung bukti rekaman evakuasi jenazah maupun verifikasi independent. Ironisnya, narasi emosional tersebut diulang-ulang dengan gaya dramatis, padahal tak satu pun foto atau data otentik dipublikasikan markas pusat TPNPB-OPM. Mereka kembali mengais validasi demi menggiring opini demi menguatkan pengaruh kelompoknya.

Kehebatan Sebby Sambom memelintir angka sebenarnya bukan hal baru. Jejak manipulasi fakta pernah terekam saat ia menuduh delapan pekerja Telkomsel di Beoga sebagai aparat TNI/Polri, padahal telah dibantah aparat dan kala ia menyebar foto hoaks pembantaian Kopassus di Mugi-Mam tanpa bukti valid. Kali ini, angka “3 tewas” menjadi episode kesekian dari sinetron propaganda ala Sebby Sambom yang nyaris bisa ditebak selanjutnya selalu diiringi tudingan “pembantaian warga” dan seruan internasional yang dramatis.

Agar kebohongan angka ini kandas, publik harus menuntut 3 hal sederhana namun mendasar: verifikasi lapangan, transparansi data, dan pengawasan pihak ketiga. Beda dengan klaim tanpa bukti, dokumentasi lapangan TNI tersedia lengkap, bukti barang sitaan, kronologi kontak tembak dua hari, dan laporan resmi Tim Pemda Intan Jaya yang sama sekali tak ditampakkan oleh Sebby Sambom. Dalam panggung sandiwara informasi ini, publik ibarat penonton matre terpaku pada angka-angka dramatis, tapi luput pada akurasi dan konteks. Sebby Sambom boleh saja memerankan ‘sutradara’ propaganda, menggelar episode satu per satu dengan narasi bombastis. Namun, kamera satelit tak bisa ditipu, saksi mata tak bisa dibungkam, dan data lapangan tak bisa dihapus begitu saja. Ketika angka “18” berbaris tegas di laporan resmi, angka “3” hanya tinggal mitos belaka.

Akhirnya, kita seperti diingatkan bahwa di era disinformasi ini, pertarungan sesungguhnya bukan soal siapa paling emosional, melainkan siapa paling etis menyajikan fakta. Sebby Sambom boleh terus mengedepankan drama angka “tiga tewas,” tetapi kebenaran yang berdiri di atas bukti dan verifikasi akan selalu menjadi panglima tertinggi menebas mitos, menegakkan akurasi, dan memastikan tak ada kebohongan yang menang di atas panggung publik.