Aksi Indonesia Gelap Tidak Mewakili Aspirasi Publik

Oleh: Nur Utunissa *)

Dalam dinamika kehidupan demokrasi di Indonesia, ruang ekspresi menjadi salah satu indikator sehatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Namun demikian, tidak semua bentuk ekspresi yang mengatasnamakan rakyat benar-benar mencerminkan kehendak publik secara keseluruhan. Salah satu fenomena terbaru yang mencuat adalah gerakan bertajuk “Indonesia Gelap”, yang ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial dan menyita perhatian masyarakat dalam beberapa hari terakhir. 

Fenomena “Indonesia Gelap” muncul dengan narasi bahwa bangsa ini sedang dalam keadaan darurat demokrasi dan gelap karena berbagai kebijakan yang dianggap merugikan rakyat. Dalam praktiknya, gerakan ini mewujud dalam berbagai aksi simbolik seperti pemadaman lampu serentak di beberapa lokasi, serta penyebaran propaganda digital yang intens. Namun jika ditelaah lebih dalam, narasi yang diusung gerakan tersebut tampak kurang relevan dengan situasi objektif yang sedang dihadapi Indonesia. 

Gerakan seperti “Indonesia Gelap” justru menyederhanakan persoalan bangsa dalam narasi oposisi total terhadap negara. Padahal dalam konteks demokrasi, diskursus kebijakan semestinya dibangun melalui jalur konstitusional dan dialog konstruktif. Ketika aksi-aksi tertentu hanya menekankan simbolisasi dan cenderung destruktif, maka tujuan awalnya pun menjadi kabur. Masyarakat luas, terutama yang berada di luar lingkaran aktivisme perkotaan, justru tidak merasa terwakili oleh aksi tersebut. Aspirasi publik Indonesia yang mayoritas menginginkan stabilitas, ketertiban, dan keberlanjutan pembangunan menjadi tertutupi oleh riuhnya suara minoritas yang gemar melakukan generalisasi pesimistis terhadap negara.

Salah satu kesalahan mendasar dari gerakan semacam ini adalah klaim bahwa mereka adalah suara rakyat. Padahal, dalam kenyataan empiris, suara rakyat bersifat plural dan tidak tunggal. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia memiliki masyarakat yang majemuk dari segi budaya, ekonomi, hingga kepentingan politik. Oleh karena itu, adalah keliru jika segelintir kelompok mengklaim dirinya sebagai representasi tunggal aspirasi publik, hanya karena merasa lebih vokal atau lebih aktif di media sosial. Representasi publik dalam demokrasi semestinya dicapai melalui mekanisme yang sah, seperti pemilihan umum, musyawarah rakyat, atau forum-forum diskusi yang inklusif.

Gerakan “Indonesia Gelap” juga cenderung mengabaikan capaian-capaian nyata yang diraih bangsa ini dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah tantangan global seperti krisis pangan, perang dagang, hingga ancaman resesi, Indonesia masih mampu menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, meningkatkan pembangunan infrastruktur, dan memperluas program perlindungan sosial bagi rakyat miskin. Ketika gerakan tertentu hanya menyoroti sisi negatif tanpa mengakui keberhasilan yang ada, maka publik pun patut mempertanyakan integritas narasi yang mereka bawa.

Ironisnya, aksi ini muncul di tengah upaya serius pemerintah dalam memulihkan ekonomi pasca pandemi, meningkatkan investasi, dan mempercepat pembangunan infrastruktur strategis di berbagai daerah. Gerakan yang menggambarkan Indonesia sebagai entitas gagal atau negara dalam krisis berkepanjangan justru mengabaikan kenyataan bahwa dalam banyak sektor, kondisi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan sejumlah negara lain di kawasan. Pandangan sempit yang hanya mencari-cari celah untuk menyudutkan negara tanpa memberikan solusi konkret adalah bentuk pesimisme yang tidak membangun.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara (PB IMSU), Lingga Pangayumi Nasution mengatakan mahasiswa sebagai elemen bangsa yang harus terus menjaga nalar kritis perlu mencegah dari terjebak aksi anarkis. Selain melawan hukum, tindakan tercela itu akan membuyarkan tujuan menyampaikan aspirasi kepada pemangku kebijakan.

Selain itu, Ketua Bidang Politik, Hukum, dan HAM PB IMSU, Emon Wirawan Harefa mengatakan bahwa pihaknya mengadakan diskusi bersama mahasiswa dengan tema Forum Bahas Aksi, Kritik, dan Realita (BAKAR) bertajuk Anarkisme dalam Demonstrasi: Energi Perlawanan atau Ancaman Gerakan, di Wisma Kementerian Agama, Jakarta, sebagai upaya untuk menjaga nalar kritis dan mendorong strategi gerakan yang cerdas dan bertanggung jawab.

Disisi yang saman, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Senat Mahasiwa Hukum Indonesia (PP ISMAHI), Dedi Sofhan mengatakan meski unjuk rasa dijamin undang-undang, anarkisme tidak pernah dibenarkan dalam sistem hukum Indonesia. Demokrasi memang memberi ruang seluas-luasnya untuk menyampaikan kritik dan aspirasi, tetapi tanggung jawab moral harus menyertai setiap ekspresi yang dilontarkan. Dalam iklim politik yang makin dinamis menjelang suksesi kepemimpinan nasional, penting untuk menilai setiap gerakan secara jernih dan tidak terjebak dalam euforia emosional yang berlebihan.

Respons publik terhadap gerakan ini menunjukkan minimnya partisipasi luas masyarakat, khususnya dari kelompok arus utama, yang lebih memilih mendukung stabilitas dan pembangunan. Tidak ada gelombang besar solidaritas yang muncul dari kalangan masyarakat arus utama. Gerakan seperti “Indonesia Gelap” pada akhirnya memperlihatkan bagaimana kebebasan berekspresi bisa disalahgunakan untuk menciptakan disinformasi massal. Tanpa data yang akurat dan refleksi objektif terhadap kondisi bangsa, gerakan semacam ini hanya akan menjadi bahan konsumsi media sesaat, yang kemudian hilang tanpa dampak positif jangka panjang. 

Ke depan, diperlukan literasi politik yang lebih luas dan mendalam agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh simbolisme dangkal yang tidak berdampak nyata. Demokrasi sejati bukan hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga persatuan, mengedepankan dialog, dan memperkuat semangat gotong royong demi Indonesia yang lebih terang, adil, dan sejahtera.

)* Penulis adalah Pegiat Literasi pada Narasi Nusa Institute