Oleh : Yudi Kurniawan )*
Gelombang pesta demokrasi di Indonesia kembali memasuki babak kritis ketika beberapa daerah melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Namun, alih-alih menjunjung tinggi kedewasaan politik, sebagian pihak yang sama sekali tidak bertanggung jawab justru memilih jalur provokatif dengan mencoba menggiring opini publik seolah-olah bahwa pelaksanaan PSU sarat akan kecurangan.
Sikap semacam ini jelas perlu untuk disikapi dengan sikap kewaspadaan yang sangat tinggi, terutama agar masyarakat tidak mudah untuk terhasut oleh narasi yang sama sekali tidak berdasar tersebut.
Stabilitas nasional pasca pelaksanaan PSU tersebut jelas menjadi isu utama yang menyita perhatian banyak pihak. Kepala Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI, Rifyan Ridwan Saleh, menyerukan betapa pentingnya semua elemen masyarakat untuk tidak mudah terjebak dalam sikap saling tuding atau euforia secara berlebihan.
Pihak yang kalah dalam serangkaian Pemungutan Suara Ulang tersebut sebaiknya tidak meluapkan kekecewaan secara emosional, sementara untuk pihak yang unggul perlu menahan diri dari adanya perayaan yang bisa saja berpotensi dapat melukai perasaan lawan politik.
Komitmen untuk terus menjaga keamanan nasional, menurut Rifyan, hanya akan berhasil bila disertai juga dengan rasa hormat terhadap seluruh proses hukum dan nilai-nilai persaudaraan yang menjadi fondasi bangsa.
Kepala Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan PB HMI tersebut menekankan bahwa pemilihan ulang di sembilan Tempat Pemungutan Suara di Pulau Taliabu, Maluku Utara, telah berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Proses pengawasan dilakukan dengan sangat ketat, mulai dari tingkat kecamatan hingga pleno pada tingkat kabupaten. Tidak ditemukan pelanggaran apapun atau adanya manipulasi data yang bisa dijadikan dasar keraguan atas keabsahan hasil tersebut.
Rifyan menyampaikan bahwa proses hukum seluruh pelaksanaan PSU tetap terbuka bagi pihak-pihak yang ingin menggugat, namun harus tetap dilakukan secara konstitusional dan profesional, bukan dengan justru membakar emosi publik secara luas.
Langkah tegas juga terlihat dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia. Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin, menegaskan bahwa seluruh pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang di 24 daerah diawasi secara sangat ketat.
Sebagai pembelajaran dari pemilu sebelumnya, KPU RI menyatakan sama sekali tidak akan memberi ruang sedikit pun bagi pengulangan pelanggaran yang telah terbukti pada sidang sengketa Pilkada 2024.
Pengawasan internal terus diperketat dan seluruh jajaran KPU di berbagai daerah di Indonesia diarahkan untuk senantiasa menjunjung tinggi segala aturan secara menyeluruh, agar PSU mampu berjalan sesuai mandat Mahkamah Konstitusi (MK).
Afifuddin menyatakan bahwa semua proses supervisi dilakukan dengan sangat serius. KPU RI aktif untuk terus memastikan agar koordinasi senantiasa berjalan lancar di setiap lini. Dengan pendekatan preventif, potensi pelanggaran mampu untuk dicegah sedini mungkin.
Seluruh langkah Komisi Pemilihan Umum tersebut tidak hanya untuk menjamin integritas pelaksanaan PSU, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Sikap profesional yang dikedepankan KPU jelas menunjukkan betapa komitmen kuat mereka dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Bagaimana proses berjalannya PSU yang sudah sesuai aturan juga berjalan di tingkat lokal, dengan adanya ketegasan yang ditunjukkan KPU Kabupaten Buru. Ketua KPU Buru, Walid Aziz, menjelaskan bahwa dalam PSU di TPS 2 Desa Debowae, pihaknya tidak mengakomodasi sejumlah pemilih karena tidak memiliki dokumen kependudukan yang sah.
Penolakan tersebut bukan bentuk diskriminasi, melainkan tindakan patuh terhadap regulasi yang telah ditetapkan. Validitas data pemilih menjadi prioritas untuk menghindari penyalahgunaan suara dan menjamin hasil PSU benar-benar mencerminkan kehendak rakyat.
Walid memaparkan bahwa sejumlah pemilih ditemukan memiliki nama ganda atau telah mencoblos di TPS lain pada pemilihan sebelumnya. Dalam kondisi demikian, KPU tidak memberikan toleransi, bahkan meski tekanan datang dari berbagai pihak.
Langkah verifikasi ketat diterapkan, dengan bantuan pengawasan dari Bawaslu, TNI, dan Polri, demi memastikan keabsahan suara. Bila gugatan terhadap keputusan tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi, KPU Kabupaten Buru siap mempertanggungjawabkan seluruh kebijakan yang telah diambil sesuai aturan.
Fenomena provokasi pasca pemilu bukan hal baru dalam demokrasi. Namun ketika narasi menyesatkan dibalut dengan klaim kecurangan tanpa bukti konkret, ancaman terhadap stabilitas sosial semakin nyata.
Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan. Tidak semua informasi layak dipercaya, terlebih jika berasal dari sumber yang tidak kredibel dan memiliki kepentingan politik.
Menghasut opini publik untuk menolak hasil PSU tanpa dasar hukum tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga mengancam persatuan. Ketika provokasi dibiarkan tumbuh, benih disintegrasi bangsa pun mulai ditanam. Justru dalam momen seperti ini, penguatan literasi politik dan penghormatan terhadap proses hukum menjadi senjata utama melawan kekacauan.
Seluruh proses PSU telah dijalankan sesuai aturan dan diawasi secara ketat. Masyarakat perlu percaya pada mekanisme yang telah disusun dalam sistem demokrasi. Jika ada ketidakpuasan, saluran hukum telah disediakan. Mengambil jalur provokasi bukan solusi, melainkan langkah mundur yang membahayakan semua pihak.
Bangsa ini telah membayar mahal harga demokrasi dengan sejarah panjang perjuangan dan pengorbanan. Jangan biarkan segelintir kepentingan politik mencoreng legitimasi hasil pemilu. Keutuhan bangsa lebih penting daripada ambisi sesaat. (*)
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute