Pepera 1969 Sah dan Final: Pengakuan Dunia atas Papua sebagai Bagian Tak Terpisahkan dari Indonesia

PAPUA – Proses integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus memperoleh legitimasi kuat, baik secara hukum internasional maupun politik global. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 bukan hanya bagian dari amanat Perjanjian New York, tetapi juga menjadi tonggak yang mempertegas posisi Papua dalam bingkai Indonesia.

Pepera dilaksanakan di bawah pengawasan langsung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menghasilkan keputusan bulat dari 1.026 tokoh perwakilan masyarakat Papua untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Yohannis Samuel Nusi, penulis sekaligus pegiat sejarah Papua, menyatakan bahwa pelaksanaan Pepera merupakan wujud konkret dari kesepakatan internasional yang sah antara Indonesia dan Belanda, yang difasilitasi PBB.

“Pepera 1969 bukan agenda sepihak. Itu bagian dari hasil diplomasi panjang dan pengakuan internasional terhadap kedaulatan Indonesia atas Papua,” ujar Yohannis Samuel Nusi.

Penunjukan wakil rakyat dari kalangan tokoh adat dan pemimpin masyarakat lokal menunjukkan pendekatan yang menghormati tatanan budaya Papua. Dalam struktur sosial masyarakat Papua, pengambilan keputusan penting tradisional dilakukan oleh para tokoh masyarakat yang secara sah mewakili, sebagaimana tercermin dalam mekanisme Pepera.

“Model musyawarah dalam Pepera bukan paksaan, melainkan bentuk partisipasi yang selaras dengan tradisi Papua,” tambah Yohannis Samuel Nusi.

Pengakuan Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 2504 menjadi pengukuhan akhir terhadap integrasi Papua. Mayoritas negara anggota PBB menerima hasil Pepera sebagai bentuk penentuan nasib sendiri yang sah dan final.

Yohannis Samuel Nusi juga menyoroti bahwa sejarah Papua tak dapat dipisahkan dari konteks dekolonisasi pasca Perang Dunia II.

“Papua adalah bagian dari wilayah Hindia Belanda, dan karena itu, bagian dari Republik Indonesia sejak proklamasi. Pepera hanyalah formalitas yang menyelesaikan konflik kolonial yang diwariskan Belanda,” tegas Yohannis Samuel Nusi.

Dengan legitimasi internasional yang mengikat, status Papua dalam NKRI seharusnya tidak lagi menjadi bahan polemik. Yang kini lebih penting adalah bagaimana memajukan Papua melalui pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Sudah saatnya berhenti mempertanyakan masa lalu dan mulai membangun masa depan Papua dengan semangat persatuan dan keadilan,” tutup Yohannis Samuel Nusi.

Integrasi Papua adalah bagian sah dari perjalanan bangsa. Kini, tugas bersama adalah memastikan kehadiran negara benar-benar dirasakan dalam kesejahteraan masyarakat Papua.