Oleh: Latea Latra *)
Indonesia sebagai negara demokratis memberi ruang bagi kritik dan aspirasi, namun setiap tuntutan politik wajib mengikuti kaidah hukum dasar dan memperhatikan stabilitas nasional. Ide pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini adalah provokasi yang tidak didukung alasan berat sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Dasar 1945 dan berpotensi mengganggu tatanan pemerintahan yang baru berjalan.
Polemik ini berakar pada misrepresentasi lembaga: forum tersebut menamakan diri “purnawirawan TNI–Polri”, namun faktanya bukan wadah resmi purnawirawan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Pelaksana tugas Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Mayor Jenderal (Purn) Komaruddin Simanjuntak, menegaskan bahwa delapan tuntutan forum bukanlah pernyataan yang mewakili seluruh Purnawirawan TNI AD. Penegasan ini penting untuk mengoreksi kesan seolah seluruh purnawirawan mendukung pemakzulan Gibran atau menolak program strategis pemerintah.
PPAD—bersama PEPABRI, LVRI, PPAL, PPAU, PP Polri, dan PERIP—diakui negara sebagai organisasi berbadan hukum. Komaruddin menekankan PPAD ialah wadah menyalurkan aspirasi serta kontribusi pemikiran para Purnawirawan TNI AD . Artinya, kanal resmi sudah tersedia bagi purnawirawan untuk menyampaikan pandangan kepada pemerintah, TNI, maupun masyarakat. Dengan demikian, setiap pernyataan forum di luar struktur resmi seharusnya diposisikan sebagai opini kelompok, bukan sikap kelembagaan TNI secara keseluruhan.
Dalam doktrin pertahanan, soliditas TNI–Polri adalah fondasi keutuhan negara. Misrepresentasi aspirasi purnawirawan berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu untuk memecah belah moral pasukan aktif dan menurunkan kepercayaan publik. Komaruddin mengajak purnawirawan menjaga kehormatan, persatuan, serta marwah TNI. Seruan ini selaras dengan Sapta Marga dan kode etik prajurit pejuang. Bila pernyataan forum dibiarkan tanpa klarifikasi, publik bisa menyimpulkan terjadi perpecahan serius di tubuh militer, padahal faktanya mayoritas purnawirawan mendukung pemerintahan konstitusional.
Komaruddin menyatakan, meski menghormati aspirasi rekan seperjuangan, purnawirawan diimbau menjalankan pengabdian dengan kode etik prajurit pejuang—Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI . Ia mengutip sesepuh PPAD Jenderal Purn Widjojo Soejono yang menegaskan prajurit baru berhenti berjuang jika tidak lagi mampu mendengar tembakan salvo di samping telinganya. Filosofi ini meneguhkan peran purnawirawan sebagai penjaga keutuhan bangsa, bukan pelaku manuver politik yang memicu fragmentasi.
Selain PPAD, pernyataan kolektif purnawirawan lintas matra—bergabung dalam wadah resmi—pun menegaskan dukungan pada pemerintahan Prabowo–Gibran. Komaruddin menyebut lima poin sikap purnawirawan: pertama, hanya PEPABRI, LVRI, PPAD, PPAL, PPAU, PP Polri, dan PERIP yang sah mewakili keluarga besar purnawirawan; kedua, soliditas TNI–Polri harus terus dijaga; ketiga, meski purnawirawan sudah purna tugas, pengabdian kepada bangsa belum berakhir; keempat, purnawirawan “mendukung sepenuhnya program pemerintah sesuai Asta Cita”; kelima, mereka mengajak masyarakat mendukung pembangunan nasional . Sikap ini mempertegas bahwa gerakan pemakzulan Gibran hanyalah pandangan sebagian kecil individu purnawirawan, bukan sikap solid keluarga besar TNI–Polri.
Forum purnawirawan memasukkan pencopotan Gibran sebagai poin kedelapan dalam delapan tuntutan. Mereka menilai putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat usia calon wapres melahirkan ketidakabsahan moral. Namun, Pasal 7B UUD 1945 jelas mensyaratkan pemakzulan harus didahului tuduhan pelanggaran berat—seperti pengkhianatan atau korupsi—dan diputus Mahkamah Konstitusi. Pengamat Politik Hendri Satrio memperingatkan bahwa jalur ini panjang dan berliku. Menyerukan pemakzulan tanpa dasar hukum kuat hanya akan menimbulkan noise, mengganggu stabilitas politik, dan melemahkan agenda pertahanan nasional.
Kinerja sektor pertahanan erat dengan legitimasi politik. Program modernisasi alutsista, peningkatan kesejahteraan prajurit, hingga penguatan kemandirian industri pertahanan menuntut iklim politik stabil. Isu pemakzulan Wapres di tahun pertama pemerintahan justru menciptakan ketidakpastian strategis: investor industri pertahanan menahan diri, mitra luar negeri kebingungan membaca arah kebijakan, dan musuh potensial menguji kesiapsiagaan. Menjaga kepemimpinan sipil–militer yang sah merupakan bagian integral strategi pertahanan.
Forum purnawirawan sebetulnya dapat mengajukan keberatan melalui mekanisme audiensi dengan Dewan Pertimbangan Presiden atau Komisi I DPR. Jika keberatan bersifat yuridis, uji materi dapat ditempuh ke Mahkamah Konstitusi; jika bersifat kebijakan, sampaikan melalui dialog terstruktur. Langkah-langkah demikian menunjukkan kedewasaan demokrasi dan konsistensi dengan pedoman Sapta Marga: loyal pada konstitusi, bukan pada kepentingan kelompok.
Kebisingan politik kerap disebabkan literasi publik yang terbatas soal struktur organisasi militer dan prosedur kenegaraan. Masyarakat perlu memahami perbedaan forum informal dan lembaga resmi agar tidak terperdaya misinformasi. Media massa juga bertanggung jawab menelusuri validitas klaim sebelum menyiarkannya. Dalam konteks pertahanan, informasi keliru bisa memengaruhi moral pasukan.
Wacana pemakzulan Wapres Gibran tanpa dasar hukum kokoh adalah provokasi yang dapat mengganggu stabilitas pertahanan dan pembangunan. Klarifikasi PPAD bahwa Forum Purnawirawan bukan wadah resmi menegaskan perlunya kehati-hatian publik menerima informasi. Seluruh pihak, termasuk purnawirawan, hendaknya mematuhi Sapta Marga: setia kepada bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi. Dengan demikian, program strategis pertahanan dapat berjalan, pembangunan ekonomi dapat terjaga, dan kesatuan nasional tetap utuh.
*) Penulis merupakan pemerhati pertahanan