Oleh: Wignyan Wiyono*)
Belasan tahun praktik alih daya di Indonesia terus menimbulkan polemik. Skema yang awalnya digadang-gadang sebagai jalan tengah fleksibilitas industri ternyata melahirkan ketimpangan hak buruh: upah di bawah kesepakatan, jenjang karier buntu, hingga minimnya jaminan sosial. Presiden Prabowo Subianto, menangkap aspirasi serikat pekerja, telah mewacanakan penghapusan outsourcing sembari menyiapkan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional sebagai lokomotif penyusunan skema pengganti yang lebih berkeadilan. Langkah berani ini patut didukung, demi memastikan transisi menuju pola hubungan kerja formal yang terlindungi.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menilai praktik alih daya (outsourcing) kerap memosisikan pekerja dalam situasi tanpa kepastian. Ia menyebut temuan pekerja berusia empat puluh hingga lima puluh tahun yang tetap berstatus kontrak dengan upah sebatas upah minimum provinsi; bahkan ada kontrak yang menuliskan UMP, tetapi bayaran riil di bawah kesepakatan. Situasi demikian membuat pekerja sulit merencanakan masa depan, apalagi menabung untuk hari tua.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik per Februari 2025 menunjukkan 86,58 juta penduduk bekerja—59,4 persen di antaranya—masih berada di sektor informal. Saat pekerja outsourcing tidak menerima kepastian jaminan sosial, mereka terdorong berpindah ke sektor informal yang sama-sama rawan perlindungan. Risiko inilah yang dikhawatirkan kalangan pengusaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mengingatkan bahwa jika outsourcing dihentikan tanpa skema transisi, pekerja bisa lari ke sektor informal yang lebih sulit diawasi. Pernyataan ini menegaskan perlunya kebijakan pengganti yang mengikat seluruh pemangku kepentingan—pekerja, pemberi kerja, dan negara—agar hak dasar buruh tetap dijamin.
Di ranah perikanan, Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu (SAKTI) Sulawesi Utara menilai alih daya membuka ruang eksploitasi tenaga kapal. Sistem ini diduga memfasilitasi perekrutan awak tanpa perlindungan upah dan keselamatan kerja memadai. Ketua SAKTI Sulut, Arnon Hiborang, menyebut penghapusan outsourcing sebagai “angin segar” yang akan membebaskan awak kapal dari rantai perbudakan modern. Pandangan serupa muncul dari berbagai serikat: alih daya dianggap memutus rantai karier, menekan upah, dan melemahkan posisi tawar buruh.
Kenyataan di lapangan sejalan dengan kritik Menaker. Ia menjelaskan banyak kontrak outsourcing belum memenuhi asas keadilan; ada tenaga berstatus alih daya selama puluhan tahun tanpa kesempatan diangkat tetap. Ketidakpastian ini bertentangan dengan amanat Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tentang hak mendapat pekerjaan dan imbalan layak.
Apindo mencontohkan India dan Filipina yang sukses membangun industri outsourcing teknologi dan teleservices. Logikanya, pasar global membutuhkan skema tenaga kerja fleksibel. Namun, keberhasilan dua negara tersebut berdiri di atas perlindungan ketat—karier jelas, pelatihan kompetensi, dan gaji memadai. Di Indonesia, prasyarat itu belum terpenuhi secara menyeluruh. Alih daya justru dipakai sebagai celah menekan biaya tenaga kerja.
Karena itu, alih daya sulit lagi dipertahankan sebagai instrumen utama fleksibilitas. Pemerintah nampaknya sedang merumuskan model penyerapan tenaga kerja tetap yang adaptif dengan dinamika industri 4.0, tetapi tetap menjamin upah layak, jaminan sosial, dan kesempatan peningkatan kompetensi.
Menaker menyatakan arahan Presiden akan dituangkan dalam Permenaker baru yang realistis, sekaligus menghapus praktik tak manusiawi. Kementerian kini mengkaji undang-undang ketenagakerjaan yang lebih menekankan keadilan. Penghapusan outsourcing juga diiringi rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, wadah dialog tripartit untuk merumuskan skema kerja ramah pekerja dan industri.
Ketika hubungan kerja lebih stabil, daya beli tenaga kerja meningkat. Kenaikan konsumsi domestik akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Produk domestik bruto Indonesia selama ini ditopang konsumsi rumah tangga lebih dari 50 persen; dengan upah pasti dan jaminan sosial, pekerja cenderung membelanjakan lebih banyak untuk pendidikan, kesehatan, dan perumahan, bukan sekadar kebutuhan subsisten.
Di sisi lain, reputasi Indonesia sebagai negara yang menjunjung standar ketenagakerjaan akan naik dalam rantai pasok global. Perusahaan multinasional kini makin selektif memilih pemasok yang mematuhi prinsip hak asasi buruh. Penghapusan outsourcing bermasalah justru membuka peluang investasi yang menghargai prinsip berkelanjutan.
Rencana Presiden Prabowo menghapus sistem outsourcing merupakan terobosan yang berpihak pada buruh dan sejalan dengan konstitusi. Data BPS tentang dominannya sektor informal, kesaksian serikat pekerja perikanan, serta temuan Menaker mengenai penyimpangan upah memperkuat argumen bahwa alih daya di Indonesia lebih sering merugikan pekerja. Meski terdapat risiko peralihan ke sektor informal, kekhawatiran ini dapat diatasi melalui skema transisi, penguatan jaminan sosial, insentif fiskal, dan peningkatan kapasitas pekerja.
Penghapusan outsourcing bukan sekadar meniadakan sebuah sistem, melainkan menandai era baru hubungan industrial yang adil, manusiawi, dan produktif. Pemerintah dan parlemen terus bergerak cepat menyusun regulasi, sedangkan pengusaha perlu melihatnya sebagai investasi jangka panjang—karena pekerja sejahtera adalah aset terpenting bagi daya saing industri Indonesia.
*) Penulis merupakan aktivis buruh, pemerhati isu ketenagakerjaan