Komitmen Presiden Prabowo Menghapus Praktik Outsourcing Demi Keadilan Pekerja

Oleh : Rangga Prasetya )*

Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing patut didukung sebagai wujud nyata komitmen negara dalam menjamin hak-hak dasar pekerja. Keputusan tersebut bukan sekadar janji politik, melainkan sinyal kuat tentang orientasi kebijakan baru yang berpihak pada keadilan sosial dan perlindungan tenaga kerja. Dalam konteks pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, perlakuan yang adil terhadap pekerja bukanlah beban, melainkan fondasi kokoh bagi pertumbuhan yang inklusif.

Selama dua dekade terakhir, sistem outsourcing telah menjadi isu yang terus menuai kritik. Alih daya yang awalnya dimaksudkan untuk efisiensi operasional justru menjelma menjadi instrumen pemangkasan hak. Banyak pekerja outsourcing hidup dalam ketidakpastian, menerima upah di bawah standar, dan tidak mendapatkan perlindungan sosial memadai. Hal ini menciptakan jurang ketimpangan yang bertentangan dengan semangat pembangunan manusia seutuhnya.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan pemerintah dalam mengoreksi praktik yang terbukti merugikan pekerja. Komitmen Presiden Prabowo untuk mengevaluasi sistem outsourcing melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan Dewan Kesejahteraan Buruh menunjukkan pendekatan yang sistematis dan inklusif. Kebijakan tenaga kerja yang baik harus dirancang berdasarkan analisis menyeluruh dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, termasuk pekerja dan organisasi serikat buruh.

Di sisi lain, organisasi buruh juga menyambut baik arah kebijakan ini. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, secara tegas menyebut outsourcing sebagai bentuk perbudakan modern. Kecaman tersebut tidak berlebihan jika melihat realita di lapangan, di mana pekerja outsourcing kerap kali menerima upah jauh di bawah yang dibayarkan oleh perusahaan induk. Selisih tersebut menjadi ruang abu-abu yang rawan dimanipulasi, sehingga memperlebar celah ketidakadilan ekonomi.

Mirah menggarisbawahi bahwa penghapusan sistem outsourcing bukanlah gagasan utopis. Justru sebaliknya, kebijakan tersebut sangat realistis dan mendesak demi terciptanya sistem ketenagakerjaan yang manusiawi. Pernyataan ini selaras dengan prinsip konstitusional bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam konteks inilah, negara harus memastikan bahwa pekerja tidak sekadar menjadi roda produksi, tetapi juga manusia yang dihargai martabat dan kontribusinya.

Dukungan dari parlemen turut memperkuat legitimasi arah kebijakan pemerintah. Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyatakan bahwa sistem outsourcing telah lama menciptakan ketidakadilan yang mendalam bagi buruh. Ia menilai bahwa regulasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 justru memperlemah perlindungan kerja dan menekan upah pekerja. Dengan kata lain, pembaruan regulasi menjadi langkah strategis untuk menghapus celah eksploitatif dalam sistem ketenagakerjaan.

Penting dicatat bahwa penghapusan outsourcing bukan berarti menolak fleksibilitas dalam dunia kerja. Namun fleksibilitas tersebut harus tetap mengedepankan prinsip perlindungan dan kepastian hukum. Dunia usaha tetap dapat menjalankan fungsi produksi dengan efisien tanpa harus mengorbankan hak-hak dasar pekerja. Inilah saatnya membangun relasi industrial yang lebih sehat, transparan, dan setara antara pelaku usaha dan tenaga kerja.

Transformasi kebijakan ketenagakerjaan akan berkontribusi positif terhadap kualitas hidup pekerja dan produktivitas nasional. Pekerja yang mendapatkan kepastian status dan hak, akan bekerja dengan semangat lebih tinggi, memiliki loyalitas lebih kuat, dan mampu berkontribusi secara optimal terhadap pertumbuhan perusahaan maupun perekonomian nasional. Hal ini menjadi modal penting bagi Indonesia untuk melangkah lebih jauh sebagai negara industri maju dengan daya saing yang tangguh.

Tantangan dalam implementasi tentu tidak sedikit. Diperlukan proses transisi yang terstruktur dan dialog intensif antara pemerintah, dunia usaha, dan serikat pekerja. Tidak kalah penting, pengawasan terhadap praktik ketenagakerjaan juga harus diperkuat, baik melalui perangkat hukum yang tegas maupun mekanisme pengaduan yang mudah diakses dan ditindaklanjuti. Penghapusan outsourcing harus diiringi dengan skema yang menjamin tidak terjadi pengangguran massal atau pelemahan iklim usaha.

Selain itu, peran media dan akademisi sangat penting dalam mengawal transisi menuju sistem ketenagakerjaan yang lebih berkeadilan. Penyampaian informasi yang jujur, berimbang, dan berbasis data dapat menciptakan ruang publik yang sehat dan konstruktif. Dengan demikian, setiap elemen masyarakat akan memiliki pemahaman yang utuh mengenai urgensi penghapusan outsourcing serta kontribusi jangka panjangnya terhadap stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Momentum reformasi ketenagakerjaan ini dapat menjadi titik balik penting dalam membangun peradaban ekonomi yang berkeadilan. Kebijakan yang mengutamakan perlindungan tenaga kerja adalah bentuk keberpihakan negara terhadap warganya yang paling rentan. Prinsip ini sejalan dengan cita-cita pembangunan nasional yang tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga menjamin kesejahteraan sosial secara merata.

Presiden Prabowo telah menunjukkan arah yang progresif dan berpihak kepada rakyat. Kini, kerja bersama lintas sektor diperlukan untuk menerjemahkan komitmen tersebut menjadi kebijakan nyata yang berdampak luas. Dengan penghapusan outsourcing, Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus mengorbankan hak pekerja, dan bahwa keadilan sosial bukanlah retorika, melainkan misi konstitusional yang harus diwujudkan.

)* Penulis merupakan Pengamat Hubungan Industrial