Oleh: Ramadaniya Kurniyasih *)
Konferensi Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) ke-19 di Jakarta pada Mei 2025 menjadi bukti bahwa diplomasi tidak selalu bertumpu pada kekuatan militer atau ekonomi. Budaya, parlemen, dan nilai kemanusiaan dapat menjadi instrumen ampuh untuk menurunkan ketegangan global dan memperkokoh solidaritas antarbangsa. Indonesia, sebagai tuan rumah, memanfaatkan momen ini untuk meneguhkan perannya sebagai jembatan dunia Islam. Di tengah eskalasi konflik geopolitik di berbagai belahan dunia, agenda memajukan kerja sama ekonomi, menangani ekstremisme, dan melindungi warisan budaya merupakan kebutuhan mendesak.
Rangkaian acara PUIC dibuka dengan Culture Dinner di Taman Arca Museum Nasional. Delegasi negara anggota disambut pemandu wisata dan penerjemah yang memastikan tiap narasi budaya terterjemahkan tepat. Pertunjukan tari tradisional dari berbagai daerah dan kisah masuknya Islam ke Nusantara menjadi jendela bagi para delegasi negara muslim dunia untuk memahami betapa eratnya hubungan agama dan tradisi lokal di Indonesia.
Dalam sambutannya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa Indonesia memiliki 1.340 suku dan 718 bahasa daerah, suatu fakta yang menjadikan keberagaman sebagai modal sosial yang tak ternilai. Ia menyebut bahwa hampir lima puluh ribu objek diduga cagar budaya dan lebih dari 29 ribu warisan tak benda telah terdata sebagai aset bangsa yang wajib dilindungi. Pengakuan lembaga dunia seperti UNESCO—mulai batik hingga tari saman—menegaskan bahwa produk budaya Nusantara telah menjadi bahasa universal yang dapat menjembatani perbedaan.
Fadli menambahkan bahwa warisan Islam di Indonesia—terpampang dalam pameran “The Light of Islamic Civilization”—membuktikan bahwa agama dapat berakulturasi tanpa menghapus tradisi setempat. Narasi ini penting untuk mematahkan stereotip bahwa Islam tidak dapat berkompromi dengan budaya lokal.
Sorotan utama sidang pleno PUIC adalah penderitaan rakyat Palestina. Delegasi Indonesia mengusulkan resolusi bersama yang tidak hanya mengecam agresi, tetapi juga menekankan pentingnya pelestarian lebih dari 195 situs budaya di Gaza yang rusak akibat konflik. Upaya ini sejalan dengan amanat konstitusi Indonesia untuk mendukung kemerdekaan semua bangsa yang tertindas.
Ketua DPR Puan Maharani menyambut para delegasi dengan menekankan arti penting diplomasi parlementer. Ia mengajak anggota legislatif negara anggota OKI untuk aktif menciptakan masa depan damai, sejahtera, dan berkeadaban, tidak hanya bagi rakyat sendiri, tetapi bagi umat manusia secara luas. Puan mengingatkan bahwa gedung bersejarah tempat konferensi berlangsung melambangkan perjuangan leluhur menjaga keutuhan bangsa di tengah perbedaan.
Pesan Puan tentang dialog antarparlemen menyoroti fungsi tambahan legislatif sebagai mediator ketika saluran eksekutif menemui jalan buntu. Dengan saling bertukar pengalaman membuat undang-undang, parlemen dapat membantu menyelaraskan kebijakan domestik dengan norma internasional seputar hak asasi manusia dan pembangunan berkelanjutan.
Di luar forum resmi, delegasi Indonesia mengadakan pertemuan bilateral dengan sejumlah negara untuk membahas rantai nilai halal, investasi pariwisata Islami, serta teknologi keuangan syariah. Penekanan diberikan pada sertifikasi halal yang saling diakui, penambahan rute penerbangan haji dan umrah, serta bidang pendidikan. Meski bersifat ekonomi, diskusi ini tetap menyentuh aspek kemanusiaan: menciptakan lapangan kerja, mengurangi kesenjangan, dan mendorong pemulihan.
Pertunjukan gamelan, pameran batik, serta penjajakan promosi kuliner halal Indonesia merupakan wujud soft power yang menegaskan citra moderat dan terbuka. Akan tetapi, implementasi kebijakan hasil PUIC memerlukan keseriusan semua pihak. Ada tiga tantangan: (1) harmonisasi regulasi nasional agar selaras dengan resolusi PUIC, (2) pengawasan anggaran untuk program pertukaran pelajar dan legislator muda, dan (3) konsistensi diplomasi budaya agar tidak terhenti di seremonial semata.
Dalam konteks itu, rencana World Culture Forum 2025 di Bali bertema “Culture for the Future” menjadi tindak lanjut konkret. Forum ini diharapkan menyatukan pembuat kebijakan, seniman, dan pelaku ekonomi kreatif untuk merumuskan platform perlindungan warisan di era digital, sambil menumbuhkan industri budaya sebagai mesin pertumbuhan.
Konfrensi PUIC OKI 2025 menunjukkan bahwa solidaritas dunia Islam tidak berhenti di mimbar retorik, melainkan dapat diterjemahkan dalam kerja sama konkret: perlindungan situs budaya, penguatan diplomasi parlementer, dan pengembangan ekosistem ekonomi halal. Indonesia, dengan warisan moderasi beragama dan budaya yang kaya, berhasil memosisikan diri sebagai teladan dan fasilitator.
Adanya konferensi ini mengandung pesan penting: ketika seni, tradisi, dan kemanusiaan dijadikan landasan kerja sama, runyamnya geopolitik dapat diredam. Tugas selanjutnya adalah memastikan setiap butir kesepakatan dibawa pulang dan diimplementasikan—mulai penyusunan anggaran beasiswa lintas negara, hingga pembentukan satuan tugas perlindungan warisan budaya di wilayah konflik.
PUIC OKI 2025 di Jakarta membuktikan kapasitas Indonesia menggabungkan diplomasi lunak budaya dengan diplomasi keras legislatif. Dengan hanya mengandalkan kekayaan budayanya sendiri, Indonesia mampu menggerakkan solidaritas global yang berorientasi pada perdamaian. Jika implementasi berjalan konsisten, forum ini akan tercatat sebagai tonggak baru kerja sama negara-negara Islam dalam membangun dunia yang lebih harmonis dan berkeadaban.
*) Penulis merupakan pemerhati isu perdamaian