Mewujudkan Keadilan Ketenagakerjaan Melalui Rencana Penghapusan Outsourcing

Oleh : Andi Ramadhan )*

Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing atau alih daya menandai babak baru dalam perjalanan ketenagakerjaan nasional. Dalam peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, Presiden menyampaikan tekadnya membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan menjadi penasehat strategis bagi pemerintah dalam menyusun arah kebijakan ketenagakerjaan. Langkah ini bukan semata-mata respons politis, melainkan representasi nyata dari kesadaran negara terhadap pentingnya menciptakan keadilan dan kepastian kerja bagi seluruh tenaga kerja Indonesia.

Selama lebih dari dua dekade, sistem outsourcing telah menjadi bagian dari lanskap ketenagakerjaan modern. Pada awalnya, skema ini diharapkan dapat memberikan fleksibilitas bagi dunia usaha dalam menjawab dinamika pasar. Namun, dalam praktiknya, outsourcing justru seringkali menimbulkan ketidakpastian status kerja, stagnasi upah, dan minimnya akses terhadap jenjang karier. Tidak sedikit pekerja yang bertahun-tahun berada dalam lingkaran kontrak jangka pendek, tanpa kepastian pengangkatan dan tanpa jaminan kesejahteraan jangka panjang.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan bahwa praktik outsourcing di lapangan telah menimbulkan banyak persoalan. Salah satunya adalah pekerja yang telah berusia di atas 40 tahun namun masih berstatus sebagai tenaga alih daya, digaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP), dan tanpa jenjang karier yang jelas. Situasi semacam ini menandakan adanya ketimpangan struktural dalam perlindungan kerja. Oleh karena itu, penghapusan sistem ini tidak dapat ditunda lagi.

Langkah untuk menghapus sistem outsourcing tentu tidak dapat dilakukan secara serampangan. Penghapusan outsourcing ini akan dilakukan dengan langkah terencana matang, sebagaimana ditekankan Presiden Prabowo Subianto. Di tengah iklim investasi yang dinamis, kebijakan ini memerlukan perencanaan strategis agar tetap menjaga kepercayaan dunia usaha sekaligus melindungi hak pekerja. Dalam konteks ini, peran Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional menjadi sangat krusial sebagai jembatan antara aspirasi buruh dan kebutuhan industri.

Penghapusan outsourcing bukan berarti menutup ruang bagi fleksibilitas kerja. Justru sebaliknya, hal ini menjadi titik tolak bagi pembentukan sistem kerja yang lebih adil, transparan, dan produktif. Keseimbangan antara kepentingan pekerja dan dunia usaha dapat dicapai apabila regulasi dirancang secara inklusif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, serta memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan. Pemerintah memiliki peran sentral dalam memastikan proses transisi ini berlangsung tanpa menciptakan ketidakpastian baru di sektor ketenagakerjaan.

Langkah ini juga menunjukkan komitmen kuat pemerintah terhadap prinsip kerja layak sebagaimana tercantum dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa seluruh pekerja mendapatkan perlindungan, kesempatan berkembang, serta pengakuan yang setara atas kontribusinya dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan menghapus outsourcing, ruang untuk memberdayakan tenaga kerja domestik akan terbuka lebih luas dan lebih berkualitas.

Kebijakan ini juga berpotensi memperkuat daya saing tenaga kerja nasional. Dalam era transformasi industri dan digitalisasi, tenaga kerja Indonesia memerlukan kepastian status untuk dapat mengikuti pelatihan, pendidikan vokasi, dan peningkatan kapasitas secara berkelanjutan. Outsourcing, dalam banyak kasus, telah menjadi penghambat bagi pekerja untuk naik kelas. Dengan dihapuskannya sistem tersebut, ruang mobilitas vertikal di dunia kerja akan lebih terbuka dan menjanjikan.

Dari perspektif dunia usaha, penghapusan outsourcing justru dapat mendorong stabilitas dan loyalitas tenaga kerja. Tenaga kerja yang merasa dihargai dan memiliki prospek karier cenderung menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak positif terhadap efisiensi operasional perusahaan. Dunia usaha juga akan lebih mudah dalam merancang strategi pengembangan SDM karena kepastian status kerja menciptakan hubungan industrial yang lebih harmonis.

Di sisi lain, penguatan sistem pengawasan ketenagakerjaan menjadi prasyarat utama agar kebijakan ini tidak mandek di tingkat wacana. Pemerintah perlu memastikan bahwa pelaksanaan penghapusan outsourcing tidak digantikan oleh praktik kerja tidak layak lainnya, seperti sistem kontrak berulang tanpa batas waktu. Reformasi dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan mutlak diperlukan agar setiap kebijakan berjalan sesuai dengan tujuannya.

Menteri Yassierli juga menekankan bahwa kehadiran negara harus dirasakan nyata oleh pekerja, bukan hanya dalam bentuk kebijakan, tetapi juga perlindungan konkret seperti jaminan sosial, upah layak, dan kesempatan karier. Dalam pelaksanaannya nanti, keberadaan Dewan Kesejahteraan Buruh akan mengawal aspek-aspek tersebut secara menyeluruh, termasuk mengkaji tantangan teknis dan hukum yang mungkin muncul dalam proses transisi dari sistem outsourcing menuju kerja tetap yang bermartabat.

Tidak dapat dimungkiri, tantangan pelaksanaan kebijakan ini akan muncul, baik dari sisi regulasi, koordinasi lintas sektor, maupun dari dinamika dunia usaha. Namun, dengan komitmen yang kuat dan kolaborasi semua pihak, kebijakan ini memiliki peluang besar untuk menjadi salah satu tonggak sejarah dalam reformasi ketenagakerjaan Indonesia. Momentum ini tidak boleh disia-siakan.

Rencana penghapusan outsourcing adalah refleksi dari semangat keberpihakan pada keadilan sosial. Ini adalah momen penting ketika negara mengambil peran aktif untuk memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan yang lebih sehat, manusiawi, dan berkelanjutan. Keputusan ini selayaknya disambut sebagai fondasi baru dalam memperkuat struktur ekonomi nasional yang lebih inklusif dan tangguh.

)* Penulis merupakan Pengamat Isu Strategis