Oleh: Dhita Karuniawati )*
Dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian, pemerintah Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas ketenagakerjaan. Salah satu upaya konkret yang dilakukan adalah pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK). Satgas ini diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam mencegah lonjakan angka pengangguran serta menjaga hubungan industrial yang harmonis antara pengusaha dan pekerja.
Kondisi ekonomi global saat ini tengah mengalami tekanan yang cukup signifikan. Faktor-faktor seperti inflasi global, konflik geopolitik, serta perlambatan ekonomi di beberapa negara maju memberikan dampak lanjutan terhadap perekonomian Indonesia. Di sektor ketenagakerjaan, tekanan ini terlihat dari meningkatnya jumlah kasus pemutusan hubungan kerja, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik.
Melihat potensi risiko yang lebih besar jika tidak ada intervensi, pemerintah membentuk Satgas PHK sebagai respons cepat terhadap gejolak tersebut. Satgas ini terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja, sehingga diharapkan mampu menjadi wadah koordinasi yang efektif dalam menyelesaikan konflik ketenagakerjaan, mencegah PHK massal, dan mencari solusi alternatif bersama.
Langkah Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) bukan hanya reaksi instan terhadap kekhawatiran buruh yang kian meningkat. Lebih dari itu, ini adalah sinyal kuat bahwa pemerintah tengah bersiap menghadapi dampak ekonomi global dengan pendekatan strategis dan kolaboratif.
Dalam konteks ini, Satgas PHK bukan hanya sikap reaktif terhadap ancaman PHK, tetapi juga bisa menjadi katalisator perubahan paradigma hubungan industrial di Indonesia.
Instruksi pembentukan Satgas PHK yang disampaikan pada Sarasehan Ekonomi 8 April 2025 membuka peluang bagi terbentuknya sinergi antara berbagai elemen strategis: pemerintah, pengusaha, pekerja, dan para ahli.
Ini adalah langkah yang patut diapresiasi karena memperlihatkan adanya kesadaran kolektif bahwa penyelesaian masalah ketenagakerjaan tidak bisa ditangani secara sektoral atau sepihak.
Wakil Ketua Dewan Energi Nasional (DEN), Mari Elka Pangestu mengatakan bahwa pembentukan Satgas PHK sebagai bagian dari langkah antisipatif pemerintah dalam menjaga stabilitas sektor ketenagakerjaan di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Penting untuk menyadari bahwa problem PHK hari ini tidak hanya berasal dari praktik relasi kerja konvensional yang stagnan, melainkan juga dari transformasi ekonomi global yang bergerak cepat.
Kebijakan proteksionisme Donald Trump yang kembali menyeruak, misalnya, bukan hanya berdampak pada sektor ekspor Indonesia, tetapi juga pada persepsi risiko jangka panjang bagi investasi dan ketenagakerjaan.
Artinya, upaya menghindari PHK tidak bisa sekadar bertumpu pada kompromi jangka pendek seperti pengurangan jam kerja atau insentif sesaat.
Dibutuhkan pendekatan sistemik dan antisipatif yang mengakar pada ketahanan industri nasional serta kapabilitas pekerja untuk beradaptasi.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI JSK), Indah Anggoro Putri mengatakan Satgas PHK akan beranggotakan personil lintas kementerian atau lembaga dan stakeholder terkait guna memitigasi atau mencegah potensi PHK. Untuk itu tengah dipersiapkan Instruksi Presiden (Inpres-nya).
Indah juga mengatakan pembentukan Satgas PHK nantinya tidak hanya mengurus soal PHK, tapi juga langkah antisipatif terkait perluasan kerja.
MayDay 1 Mei nanti, yang rencananya akan dihadiri oleh Presiden Prabowo di Stadion Utama Gelora Bung Karno, menjadi momen strategis untuk mengumumkan secara publik visi besar pemerintah terhadap masa depan ketenagakerjaan Indonesia.
Kehadiran Presiden bukan hanya sebagai simbol politik, tetapi harus diikuti dengan deklarasi komitmen konkret dari reformasi regulasi ketenagakerjaan yang lebih adil, investasi besar dalam pelatihan kerja, hingga pembentukan ekosistem industri yang berpihak pada keberlanjutan pekerjaan.
Di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu, Indonesia membutuhkan ketegasan sikap dalam melindungi pekerjanya, bukan dengan retorika, tetapi dengan kebijakan yang berbasis data, berpihak pada masa depan, dan berlandaskan keadilan sosial.
Maka memang Satgas PHK, jika dikelola dengan visi jauh ke depan, bisa menjadi simbol era baru hubungan industrial di Indonesia.Bukan lagi relasi yang penuh kecurigaan antara pengusaha dan pekerja, tetapi kemitraan strategis untuk ketahanan ekonomi nasional.
Sebab yang dibutuhkan bangsa ini bukan hanya Satgas yang bertugas menangani pemecatan atau PHK, tetapi Satgas yang menjadi pelindung martabat kerja, pengawal keadilan sosial, dan penjaga masa depan bangsa.
Satgas PHK mencerminkan pendekatan tripartit yang menjadi prinsip dasar hubungan industrial di Indonesia: kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Masing-masing pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang penting. Keberhasilan Satgas sangat bergantung pada kemauan ketiga pihak untuk duduk bersama, berdialog, dan mencari solusi terbaik tanpa mengorbankan satu sama lain. Dengan semangat gotong royong dan solidaritas, tantangan seberat apapun dapat dihadapi bersama.
Pembentukan Satgas PHK merupakan langkah strategis pemerintah dalam merespons dinamika ketenagakerjaan yang makin kompleks. Instrumen ini bukan hanya untuk menyelesaikan konflik yang muncul, tetapi juga sebagai alat deteksi dini dan pencegahan terhadap krisis ketenagakerjaan yang lebih besar.
Dengan sinergi yang kuat antara berbagai pihak, serta dukungan kebijakan yang adaptif, Satgas PHK diharapkan mampu menjaga stabilitas ketenagakerjaan nasional, melindungi pekerja, dan mendukung keberlanjutan dunia usaha. Pada akhirnya, ketenagakerjaan yang stabil akan menjadi fondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia