MBG Menyatukan Harapan dan Masa Depan Anak Papua

Oleh: Marianus Wenda *)

Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari visi besar Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat fondasi generasi emas Indonesia. Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak boleh dibiarkan tertinggal dalam urusan pemenuhan gizi anak-anak sekolah, sekalipun pelaksanaannya menghadapi tantangan yang tidak ringan. Komitmen pemerintah pusat dalam menjangkau wilayah-wilayah paling timur Indonesia melalui program MBG adalah bentuk nyata kehadiran negara, meskipun kondisi keamanan dan sosial di lapangan menuntut pendekatan yang lebih adaptif.

Kenyataan bahwa sejumlah daerah di Papua masuk dalam kategori zona merah karena ancaman kelompok bersenjata menjadi peringatan bahwa pelaksanaan program harus dirancang dengan kecermatan tinggi. Di wilayah-wilayah seperti Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Puncak Jaya, keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang menamakan diri TPNPB-OPM telah menciptakan kekhawatiran terhadap keselamatan para petugas maupun penerima manfaat. Dalam konteks inilah, dukungan terhadap kebijakan nasional perlu dibarengi langkah-langkah taktis di lapangan, termasuk koordinasi lintas sektor antara pelaksana program dan pihak-pihak yang memahami dinamika lokal.

Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Kedaulatan NKRI, Lenis Kogoya, menunjukkan peran strategis dalam menjembatani kebijakan pusat dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Papua. Ia menilai pentingnya keterlibatan langsung tokoh-tokoh Papua dalam pelaksanaan MBG agar masyarakat tidak terjebak dalam propaganda yang menyesatkan. Beberapa isu yang sempat beredar di masyarakat, seperti kekhawatiran terhadap makanan yang dibagikan, merupakan bentuk disinformasi yang harus diluruskan melalui pendekatan persuasif dan dialog terbuka. Narasi semacam ini harus dilawan dengan komunikasi yang terbuka dan pendekatan yang menjunjung tinggi martabat masyarakat lokal.

Kesalahpahaman ini juga menunjukkan bahwa program MBG tidak cukup hanya didorong dari sisi logistik dan administrasi. Namun, harus dibarengi oleh komunikasi publik yang kuat dan terstruktur. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat memahami MBG sebagai program nasional yang berlaku untuk seluruh anak Indonesia, tanpa diskriminasi. Dengan demikian, kepercayaan publik akan tumbuh dan partisipasi masyarakat akan meningkat. Di sinilah pentingnya peran tokoh lokal seperti Lenis yang memahami seluk-beluk sosial di Papua serta dapat menjadi jembatan antara negara dan rakyat.

Dukungan terhadap MBG di Papua juga tercermin dari antusiasme masyarakat yang mulai menerima kehadiran program ini. Di beberapa daerah seperti Timika, Wamena, Nabire, dan Jayapura, anak-anak sekolah telah menunjukkan respons positif terhadap penyediaan makanan bergizi. Bahkan, muncul permintaan tambahan seperti sekolah gratis sebagai bentuk aspirasi dari masyarakat yang mulai percaya bahwa negara hadir untuk masyarakat Papua. Respons seperti ini harus dibaca sebagai sinyal positif bahwa pelaksanaan program sudah berada di jalur yang benar, meskipun masih banyak tantangan teknis yang harus diselesaikan.

Manokwari menjadi contoh lain bagaimana program MBG mulai membuahkan hasil konkret. Sebanyak sembilan sekolah menengah pertama di kabupaten tersebut telah mendapatkan manfaat dari program ini. Dinas Pendidikan setempat bersama instansi lain telah berperan aktif dalam mendukung keberhasilan teknis pelaksanaan MBG, kerja sama yang terjalin dengan instansi lain seperti TNI menunjukkan bahwa pelaksanaan lintas sektor bisa berjalan efektif ketika ada komunikasi yang terbuka dan tujuan yang sama. Rencana pembangunan Dapur Sehat di Distrik Prafi adalah langkah strategis untuk memperluas jangkauan program hingga ke wilayah pinggiran.

Efektivitas pelaksanaan MBG di sekolah juga dapat dilihat dari pengalaman SMP Negeri 1 Manokwari. Sekolah yang memiliki lebih dari seribu siswa itu berhasil mengatur penyaluran makanan bergizi sesuai dengan jumlah kehadiran siswa, tanpa mengalami gangguan berarti. Pengelolaan waktu istirahat menjadi tantangan tersendiri, tetapi hal ini mampu diatasi dengan penyesuaian jam belajar yang tetap berpihak pada kebutuhan siswa. Dampak positif lain yang dirasakan adalah berkurangnya kebutuhan uang jajan, yang secara tidak langsung mendidik anak-anak untuk mengelola keuangan pribadi sejak dini.

Melihat berbagai capaian ini, pelaksanaan MBG di Papua bukan hanya soal distribusi makanan, tetapi lebih luas dari itu, yakni menyangkut urusan keadilan sosial dan penguatan kehadiran negara di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pemerintah melalui kebijakan ini sedang membangun fondasi kesehatan generasi muda, sekaligus mengikis kesenjangan antarwilayah yang selama ini masih dirasakan tajam. Hal ini menjadi modal penting untuk membangun rasa memiliki terhadap NKRI di kalangan masyarakat Papua, yang selama ini kerap merasa terpinggirkan.

Dengan semangat kerja sama dan keberanian pemerintah, tantangan seperti kondisi geografis dan keamanan justru menjadi pemicu untuk mempercepat pembangunan berkeadilan, program MBG menunjukkan bahwa dengan kehendak politik yang kuat, pemerintah bisa membangun dari pinggiran. Yang dibutuhkan adalah konsistensi dalam implementasi, kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta keberanian untuk turun langsung ke masyarakat. MBG bukan sekadar program makan gratis, melainkan manifestasi keadilan yang diwujudkan dalam bentuk paling sederhana namun paling berdampak.

Dengan semangat itu, dukungan terhadap pelaksanaan MBG di Papua harus terus digelorakan. Tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga oleh masyarakat luas, media, dan lembaga pendidikan. Karena memastikan setiap anak Papua mendapatkan makanan bergizi adalah cara paling konkret untuk membuktikan bahwa keadilan sosial bukan hanya wacana, melainkan kerja nyata yang bisa dirasakan hari ini, dan diwariskan untuk masa depan.

*) Pegiat Literasi / Komunitas Anak Papua Rantau