Oleh : Andhika Utama )*
Langkah konkret pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset patut diapresiasi sebagai bentuk nyata komitmen negara dalam memperkuat sistem pemberantasan korupsi dan pemulihan kerugian negara. Isu ini sudah lama menjadi perhatian publik dan komunitas hukum di Indonesia, mengingat lemahnya kerangka hukum yang mengatur penyitaan dan perampasan aset hasil kejahatan, khususnya korupsi.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkomitmen dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dan menyatakan dukungannya terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset oleh DPR RI. Di tengah kompleksitas tantangan hukum dan ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum, munculnya dukungan eksplisit dari Presiden Prabowo Subianto terhadap RUU ini menjadi angin segar.
Presiden Prabowo dengan tegas mendukung RUU Perampasan Aset dan menyampaikan bahwa sudah saatnya negara memiliki wewenang untuk mengambil kembali aset-aset yang didapatkan dari hasil kejahatan, tanpa harus terbelenggu oleh prosedur hukum yang panjang dan sering kali menghambat pemulihan kerugian negara. Pernyataan tegas tersebut menunjukkan sikap presiden yang tidak mentolerir praktik pencurian kekayaan negara oleh segelintir elite atau pelaku kejahatan kerah putih.
Dukungan ini kemudian disambut positif oleh berbagai kalangan, termasuk parlemen. Beberapa anggota DPR RI, khususnya dari Komisi III, menyatakan kesiapan dan komitmen untuk segera membahas RUU tersebut. Salah satu dukungan datang dari Partai Golkar, yang menyatakan bahwa mereka akan sejalan dengan arahan Presiden dalam mempercepat proses legislasi ini. Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, mengatakan pihaknya siap mendukung penuh pembahasan RUU ini di parlemen dan menegaskan pentingnya kerjasama lintas partai dalam menghadirkan regulasi yang berani dan berpihak pada kepentingan rakyat.
RUU Perampasan Aset menjadi penting karena memberikan dasar hukum yang memungkinkan negara untuk menyita dan merampas aset hasil kejahatan, meskipun belum ada putusan pidana inkracht terhadap pelaku. Model ini dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture, yang sudah lama digunakan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura.
Dalam praktiknya, mekanisme ini sangat efektif untuk mencegah pelaku kejahatan memanfaatkan celah hukum guna menyembunyikan atau mempertahankan aset hasil kejahatan. Namun, Indonesia hingga kini belum memiliki perangkat hukum yang memungkinkan penerapan mekanisme tersebut secara penuh.
Meski demikian, upaya percepatan ini tentu tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah kekhawatiran sebagian pihak bahwa penerapan perampasan aset tanpa putusan pidana bisa berpotensi melanggar prinsip praduga tak bersalah atau disalahgunakan oleh aparat hukum. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa pembahasan RUU ini dilakukan secara hati-hati, transparan, dan melibatkan masukan dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum, akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga antikorupsi.
Anggota Komisi III DPR RI, Soedeson Tandra menegaskan pentingnya percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai langkah konkret dalam memperkuat kerangka hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Pentingnya kehati-hatian dalam implementasi agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, peran parlemen menjadi krusial. DPR RI sebagai lembaga legislatif harus mampu menjembatani kepentingan negara dalam menegakkan hukum dengan perlindungan hak-hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi. Regulasi ini tidak boleh disusun secara terburu-buru tanpa memperhatikan aspek keadilan dan akuntabilitas. RUU Perampasan Aset bukan hanya soal mempercepat penyitaan, tetapi juga soal memastikan bahwa mekanisme hukum tetap berjalan dalam koridor hak asasi manusia.
Harapan besar kini tertuju pada sinergi nyata antara pemerintah dan DPR RI. Dalam beberapa tahun terakhir, publik telah melihat bagaimana kelemahan sistem hukum kita dalam memulihkan kerugian negara. Banyak kasus besar seperti BLBI, Jiwasraya, dan Asabri meninggalkan luka mendalam karena aset-aset hasil kejahatan tidak berhasil dikembalikan sepenuhnya ke kas negara. Kerugian yang timbul mencapai triliunan rupiah dan negara kesulitan melakukan pemulihan karena terbatasnya regulasi yang ada. Jika RUU ini dapat segera disahkan dan diimplementasikan dengan baik, maka akan menjadi terobosan besar dalam sejarah pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia.
Dukungan dari lembaga-lembaga antikorupsi seperti KPK, PPATK, Kejaksaan, dan Kepolisian juga akan sangat menentukan efektivitas implementasi regulasi ini. Tanpa kesiapan dari aparat penegak hukum, keberadaan undang-undang yang progresif pun akan sia-sia. Oleh karena itu, selain membahas substansi hukum, pemerintah dan DPR juga perlu menyiapkan sumber daya manusia, anggaran, serta sistem pengawasan yang memadai agar tujuan dari RUU ini dapat tercapai.
Dengan semua dinamika tersebut, maka langkah pemerintah dan parlemen dalam mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset sudah seharusnya mendapat apresiasi luas. Ini bukan hanya soal menghadirkan regulasi baru, tetapi soal menghadirkan keadilan bagi rakyat, serta memberikan sinyal kuat bahwa negara hadir untuk melindungi kekayaannya dari para pencuri berdasi. Dalam semangat gotong royong, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat, RUU ini harus menjadi prioritas nasional dan disahkan dalam waktu dekat.
)* Pengamat Kebijakan Strategis