Oleh: Oryza Gunarto (*
Pemungutan Suara Ulang (PSU) bukanlah sebuah kemunduran dalam proses demokrasi, melainkan bentuk koreksi yang sehat demi memastikan keadilan, transparansi, dan integritas dalam setiap tahapan Pemilu. Di tengah dinamika politik nasional dan tantangan pelaksanaan Pemilu serentak, langkah pemerintah dan penyelenggara Pemilu dalam menggelar PSU di beberapa daerah patut diapresiasi sebagai cermin nyata dari komitmen terhadap demokrasi yang jujur dan bermartabat.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Haluk menegaskan bahwa pelaksanaan PSU merupakan bentuk tanggung jawab konstitusional pemerintah dalam menjamin proses demokrasi berjalan sesuai koridor hukum dan asas keadilan.Ribka mengatakan pelaksanaan PSU adalah bentuk komitmen pemerintah dalam memastikan bahwa setiap tahapan demokrasi berjalan dengan baik, transparan, dan memenuhi asas keadilan bagi seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Pernyataan ini tidak sekadar retorika, tetapi menjadi pijakan moral bagi seluruh elemen bangsa untuk mendukung pelaksanaan PSU secara damai dan berkualitas.
Dalam praktiknya, PSU bukan sekadar pengulangan proses pemilihan. Ia membawa misi besar: menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Ketika ditemukan indikasi yang memerlukan penyegaran proses demokrasi, pemerintah hadir dengan solusi konstitusional melalui PSU untuk menjaga integritas hasil Pemilu, PSU hadir sebagai jawaban yang elegan dan konstitusional. Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, telah menunjukkan itikad baik untuk tidak menutup mata terhadap berbagai dinamika yang terjadi, khususnya di daerah yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu politik dan keamanan.
Namun, keberhasilan PSU sepenuhnya didorong oleh komitmen pemerintah yang tak tergoyahkan serta dukungan penuh dari seluruh elemen pengawas dan penyelenggara. Peran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menjadi sentral dalam menjaga kualitas PSU. Anggota Bawaslu RI Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa, Totok Hariyono, menekankan pentingnya pengawasan menyeluruh untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam proses demokrasi. Menurutnya, Bawaslu juga berkoordinasi erat dengan aparat keamanan untuk mengantisipasi gangguan, khususnya di wilayah rawan konflik. Pernyataan ini mempertegas bahwa Pemilu tidak boleh menjadi ajang intimidasi, melainkan pesta demokrasi yang memberi ruang aman dan bebas bagi masyarakat menyalurkan hak pilihnya.
Hal ini menjadi sangat relevan terutama di wilayah-wilayah yang kerap menghadapi tantangan khusus seperti Papua. Dalam konteks Papua, PSU bukan hanya tentang memilih pemimpin daerah, tetapi juga soal memperkuat kepercayaan warga terhadap sistem negara. Wakil Sekretaris Badan Pekerja AM Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Handry Kakiay, S.Th, memberikan ajakan moral yang kuat kepada seluruh jemaat dan masyarakat untuk aktif menyukseskan PSU. Menurutnya, menjaga integritas dalam berdemokrasi di Papua melalui PSU yang jujur, adil, dan bermartabat adalah kunci untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar bekerja melayani masyarakat dengan sepenuh hati.
Dukungan dari tokoh agama ini mencerminkan bahwa demokrasi yang jujur bukan hanya urusan negara, tapi juga menjadi panggilan moral seluruh lapisan masyarakat. Ketika pemimpin yang lahir dari proses demokrasi yang bersih dan bermartabat terpilih, maka legitimasi kepemimpinannya pun akan kuat. Hal ini akan berdampak langsung pada stabilitas pemerintahan daerah dan keberlanjutan pembangunan yang inklusif dan adil.
Pelaksanaan PSU juga menjadi refleksi penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan setiap tahapan Pemilu ke depan. Seperti yang diingatkan oleh Wamendagri Ribka Haluk, PSU adalah contoh konkret kebijakan progresif dari pemerintah yang wajib menjadi teladan dalam berdemokrasi. Tidak boleh lagi ada celah kelalaian prosedural, manipulasi suara, atau tekanan terhadap pemilih yang bisa menciderai nilai-nilai demokrasi. Stabilitas demokrasi di daerah akan semakin kokoh bila semua pihak menjunjung tinggi asas kejujuran dan keadilan dalam berdemokrasi.
Dari sisi kebijakan, keputusan pemerintah untuk memfasilitasi pelaksanaan PSU secara maksimal merupakan bukti nyata dari keberpihakan terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Tidak mudah mengambil sikap untuk membuka kembali proses pemilihan, terutama ketika hal itu melibatkan anggaran, sumber daya, dan risiko keamanan. Namun, pemerintah menunjukkan bahwa nilai demokrasi yang sehat lebih tinggi dari segala bentuk kompromi praktis jangka pendek. Ini menjadi preseden positif bagi masa depan Pemilu di Indonesia.
Dalam semangat persatuan dan cinta terhadap tanah air, marilah warga negara, tokoh masyarakat, pemuka agama, aparat keamanan, penyelenggara, hingga elite politik memberikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan PSU. Demokrasi yang jujur bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan amanah bersama seluruh bangsa Indonesia. Partisipasi aktif, menjaga kedamaian, dan memastikan setiap suara dihitung secara adil adalah wujud nyata cinta kita pada Republik ini. Mari bersama wujudkan demokrasi yang lebih sehat, kuat, dan bermartabat. PSU adalah momentum, dan kita semua adalah bagian dari sejarah baik itu.
Lebih dari sekadar kewajiban prosedural, PSU merupakan bukti nyata keberanian pemerintah dalam memastikan demokrasi tetap berada di jalur yang benar dan bermartabat. Ini adalah mekanisme yang memungkinkan demokrasi kita tumbuh dewasa, tidak alergi terhadap kritik, dan mampu memperbaiki diri saat ditemukan ketidaksesuaian. Dalam hal ini, Indonesia menunjukkan kepada dunia bahwa demokrasi bukanlah sistem yang statis, tetapi sebuah proses dinamis yang terus disempurnakan dengan semangat keterbukaan. Keberanian menggelar PSU juga menjadi sinyal kuat bahwa suara rakyat tetap menjadi pijakan utama dalam menentukan arah kepemimpinan, tanpa kompromi terhadap integritas dan kejujuran.
(* Penulis merupakan Pengamat Politik dan Pemerhati Kebijakan Publik