Oleh: Fikri Setiawan )*
Pemerintah menunjukkan komitmen kuat dalam mereformasi sistem peradilan pidana dengan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Pembaruan ini tidak sekadar penyesuaian terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, tetapi juga sebuah langkah strategis untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) semakin terjamin dalam setiap tahap proses hukum.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, menilai bahwa KUHAP lama masih sarat dengan pendekatan kontrol terhadap kejahatan, yang mengutamakan kecepatan dan kuantitas penyelesaian perkara tanpa cukup mempertimbangkan prinsip due process of law. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan arah pembangunan hukum modern yang seharusnya menjadikan perlindungan individu dari potensi kesewenang-wenangan sebagai pijakan utama. Ia juga menekankan bahwa pengesahan KUHAP baru harus dilakukan sebelum KUHP baru berlaku pada Januari 2026 agar tidak menimbulkan kekosongan hukum yang merugikan proses penegakan hukum, terutama terkait legitimasi tindakan penahanan.
Paradigma hukum pidana Indonesia kini bergeser dari semangat pembalasan ke arah pemulihan dan perbaikan, dengan mengedepankan nilai korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Perubahan paradigma ini menuntut sistem hukum acara yang lebih manusiawi dan menjunjung tinggi asas keadilan substantif. Oleh karena itu, KUHAP baru dirancang sebagai instrumen yang mampu memberikan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, hingga terpidana, tanpa mengabaikan kebutuhan penegakan hukum yang efektif.
Edward menyoroti bahwa KUHAP lama tidak mencantumkan asas praduga tidak bersalah dalam batang tubuhnya, melainkan hanya dalam bagian penjelasan umum. Selain itu, banyak kewajiban hukum yang tidak dibarengi dengan sanksi ketika dilanggar oleh aparat penegak hukum. Hal ini membuka celah penyalahgunaan wewenang dan melemahkan posisi individu dalam proses hukum. Dengan mengedepankan asas hukum acara yang tertulis, jelas, dan ketat, KUHAP baru diarahkan untuk memperbaiki kekosongan normatif tersebut.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, juga memandang bahwa penyusunan KUHAP baru adalah langkah penting untuk memperkuat pelindungan HAM di ranah peradilan pidana. Ia menggarisbawahi bahwa hambatan utama bukan hanya pada tataran peraturan, tetapi juga dalam implementasinya. Banyak hak-hak dasar tersangka yang kerap terabaikan, termasuk hak atas bantuan hukum atau hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang. Dalam konsultasi publik bersama masyarakat sipil, ia menilai KUHAP seharusnya berfungsi sebagai penjaga keseimbangan antara ketegasan hukum dan pelindungan hak individu.
Ia juga menyoroti pentingnya penguatan peran penasihat hukum dalam mendampingi tersangka. Menurutnya, banyak praktik di lapangan yang masih membatasi ruang gerak advokat, bahkan dalam tahap pemeriksaan awal. Untuk itu, RUU KUHAP didorong untuk menegaskan posisi advokat sebagai bagian integral dalam menjamin perlindungan hukum yang adil.
Salah satu gagasan krusial dalam revisi KUHAP adalah penguatan pendekatan keadilan restoratif. Habiburokhman menilai bahwa pendekatan ini bukan hanya mampu menyelesaikan perkara secara lebih damai, tetapi juga menjadi solusi konkret atas persoalan overkapasitas lembaga pemasyarakatan. Banyak kasus pidana ringan yang sebenarnya bisa diselesaikan di luar mekanisme pemidanaan formal, khususnya jika melibatkan konflik sosial, ujaran kebencian, atau pelanggaran ringan yang lebih tepat diselesaikan melalui dialog dan pemulihan.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa KUHAP baru akan mencerminkan amanat konstitusi yang telah diamandemen, terutama dalam hal jaminan terhadap HAM. Ia menjelaskan bahwa draf KUHAP yang disiapkan telah menetapkan batas waktu maksimal status tersangka, yaitu dua tahun. Ketentuan ini dihadirkan untuk menghindari praktik penetapan status hukum yang menggantung dan menimbulkan beban psikologis berkepanjangan terhadap individu.
Yusril juga menegaskan bahwa KUHAP baru tidak hanya berfungsi sebagai alat perlindungan HAM, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan keadilan. Penyusunan KUHAP ini menurutnya sudah mengakomodasi berbagai perkembangan zaman dan penyempurnaan terhadap aturan sebelumnya yang dinilai belum adaptif terhadap dinamika masyarakat modern. Pengalaman pribadi Yusril dalam menguji beberapa pasal KUHAP lama ke Mahkamah Konstitusi memperkuat keyakinannya bahwa revisi menyeluruh terhadap hukum acara pidana memang sangat diperlukan.
Dengan berbagai pendekatan baru yang diadopsi dalam RUU KUHAP, pemerintah menunjukkan bahwa pembaruan ini bukan hanya bersifat prosedural, tetapi merupakan bentuk nyata dari komitmen negara dalam menegakkan supremasi hukum yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan. Perlindungan hak asasi manusia tidak lagi hanya menjadi wacana, melainkan diterjemahkan secara sistematis ke dalam regulasi yang akan membentuk wajah peradilan pidana Indonesia di masa depan.
Dengan memperhatikan prinsip due process of law, pengakuan terhadap peran advokat, batas waktu proses hukum yang tegas, serta pembukaan ruang keadilan restoratif, KUHAP baru menjadi simbol transformasi hukum nasional yang lebih adil, transparan, dan beradab. Pemerintah bersama legislatif dan seluruh pemangku kepentingan telah meletakkan fondasi penting bagi terbentuknya sistem peradilan yang tidak hanya kuat dalam penegakan hukum, tetapi juga bijak dalam melindungi hak-hak setiap warga negara.
)* Pengamat Ilmu Hukum