Oleh: Feronika Jasin)*
Upaya mewujudkan swasembada pangan di Indonesia telah menjadi bagian penting dalam agenda pembangunan nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat bukan sekadar target ekonomi, tetapi juga bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat. Dalam mewujudkan hal ini, sinergi antara berbagai elemen bangsa dipandang semakin penting dan mendesak.
Berbagai tantangan, seperti perubahan iklim, alih fungsi lahan, ketergantungan terhadap impor, serta peningkatan jumlah penduduk, mendorong perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan kolaboratif. Tidak cukup jika hanya satu sektor atau lembaga yang bekerja sendiri-sendiri. Keberhasilan program ketahanan dan kemandirian pangan sangat bergantung pada keterlibatan aktif dari seluruh komponen, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, institusi pendidikan, sektor swasta, hingga masyarakat secara umum.
Pembukaan Koordinasi Nasional (Kornas) Penyuluh Pertanian oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada 26 April 2025 merupakan momentum penting yang menegaskan kembali posisi strategis Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dalam sistem ketahanan pangan nasional. Dengan kehadiran lebih dari 37 ribu peserta, baik secara luring maupun daring, acara ini bukan hanya sekadar forum koordinasi, tetapi juga bentuk pengakuan dan penguatan terhadap kontribusi nyata para penyuluh di lapangan.
Pernyataan Mentan yang menyebut bahwa tanpa PPL tidak mungkin terjadi lompatan besar dalam sektor pangan bukanlah retorika. Justru, itu cerminan dari kenyataan bahwa keberhasilan program-program pertanian mulai dari peningkatan produktivitas hingga adopsi teknologi sangat bertumpu pada kemampuan penyuluh dalam menjembatani kebijakan dan praktik di lapangan. Mereka bukan hanya agen informasi, melainkan penggerak transformasi yang bekerja langsung dengan petani, kelompok tani, dan masyarakat desa.
Dalam praktiknya, pendekatan lintas sektor menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola kerja sektoral. Misalnya, ketika sektor pertanian, perhubungan, keuangan, dan teknologi bersinergi, maka distribusi logistik hasil panen, akses ke permodalan, serta penggunaan teknologi tepat guna menjadi lebih optimal. Hal ini memperkuat rantai pasok pangan nasional dan mengurangi kerugian pascapanen yang selama ini masih tinggi.
Lebih dari itu, kolaborasi antarwilayah dalam bentuk pertukaran informasi, teknologi, dan sumber daya juga mulai menunjukkan dampak positif terhadap produktivitas lahan dan efisiensi produksi. Pendekatan ini menciptakan ekosistem pertanian yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika pasar maupun perubahan cuaca ekstrem.
Apresiasi yang disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni terhadap kinerja Gugus Tugas Ketahanan Pangan Polri patut mendapatkan perhatian lebih luas. Dalam konteks meningkatnya hasil panen jagung pada triwulan I 2025, keterlibatan institusi seperti Polri menjadi contoh nyata bahwa swasembada pangan bukan hanya tanggung jawab sektor pertanian semata, melainkan proyek bersama seluruh elemen bangsa.
Peningkatan hasil panen jagung bukan sekadar soal teknis budidaya. Ia adalah hasil dari penguatan koordinasi lintas sektor, pendampingan yang konsisten, serta pengawasan terhadap rantai distribusi. Dengan adanya Gugus Tugas Ketahanan Pangan di tubuh Polri, sinyal kuat diberikan bahwa keamanan dan ketahanan pangan adalah isu nasional yang membutuhkan pendekatan kolaboratif.
Peran masyarakat sebagai pelaku utama di sektor pangan pun tidak bisa diabaikan. Peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan, pendampingan, serta akses terhadap inovasi pertanian menjadi penopang utama dalam meningkatkan produksi. Sementara itu, peran generasi muda juga semakin krusial, terutama dalam menghadirkan ide-ide segar dan teknologi digital ke dalam aktivitas pertanian yang selama ini kerap dipandang konvensional.
Swasembada pangan bukanlah sekadar persoalan teknis produksi. Ia merupakan refleksi dari ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, sinergi lintas sektor tidak hanya mempercepat pencapaian target produksi, tetapi juga memperkuat fondasi keberlanjutan di bidang pangan.
Langkah Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dalam mempercepat pembangunan infrastruktur irigasi dan bendungan di Jawa Timur patut diapresiasi sebagai strategi jangka panjang yang esensial untuk mewujudkan swasembada pangan nasional. Dalam forum Musrenbang RPJMD Jatim 2025–2030, penegasan Menteri PU Dody Hanggodo mengenai komitmen tersebut menunjukkan bahwa ketahanan pangan tidak hanya soal peningkatan produksi, tetapi juga soal kesiapan infrastruktur dasar yang menopang sistem pertanian secara menyeluruh.
Pembangunan pertanian modern mustahil dicapai tanpa jaminan ketersediaan air yang stabil dan berkelanjutan. Irigasi yang terkelola dengan baik bukan hanya meningkatkan intensitas tanam, tetapi juga mengurangi risiko gagal panen akibat ketergantungan pada hujan. Maka, komitmen untuk memperluas cakupan tanam hingga lebih dari dua juta hektare bukanlah sekadar target kuantitatif, tetapi mencerminkan arah kebijakan yang berbasis perencanaan teknis dan logistik yang matang.
Langkah-langkah strategis, seperti penguatan kelembagaan petani, reformasi sistem distribusi, dan pembangunan infrastruktur pertanian yang merata, menjadi semakin efektif ketika seluruh pihak berjalan dalam arah yang sama. Harmonisasi kebijakan antarinstansi dan keberpihakan terhadap petani kecil menjadi bagian penting dalam memastikan bahwa program swasembada pangan tidak sekadar wacana, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya secara luas.
Dengan kerja sama yang terarah dan terintegrasi, swasembada pangan bukanlah cita-cita yang mustahil. Justru, melalui sinergi seluruh elemen bangsa, ketahanan pangan dapat diwujudkan secara berkelanjutan dan inklusif, menjadikan Indonesia lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.
)*Penulis merupakan Peneliti Ekonomi dan Pembangunan – Forum Ekonomi Sejahtera Indonesia