Oleh: Marcus Wonda *)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua menjadi salah satu tonggak penting dalam upaya pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguatan gizi sejak dini. Kebijakan ini tidak hanya merefleksikan kesungguhan negara dalam menjamin hak anak atas makanan sehat dan bergizi, tetapi juga menunjukkan keberpihakan nyata terhadap wilayah yang selama ini menghadapi tantangan geografis dan ketimpangan pembangunan. Papua, dengan segala kekhasan dan potensinya, menjadi lokasi yang strategis untuk memulai langkah besar ini.
Di beberapa daerah seperti Kota Jayapura, Kabupaten Sarmi, Yapen, dan Biak, program MBG mulai dijalankan. Pelaksanaan dilakukan secara bertahap, menyesuaikan kesiapan dapur gizi di masing-masing wilayah. Penjabat Gubernur Papua, Ramses Limbong, menegaskan bahwa pelaksanaan ini akan terus diperluas seiring dengan kesiapan teknis di daerah lain, termasuk Jayapura dan Keerom. Fakta bahwa program ini mulai dijalankan di Papua menunjukkan komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa setiap anak, di mana pun mereka tinggal, memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh sehat dan cerdas.
Fokus utama MBG yang dijalankan oleh pemerintah adalah penyediaan makanan bergizi bagi pelajar. Dengan alokasi biaya per porsi antara Rp25 ribu hingga Rp40 ribu, pemerintah menunjukkan komitmen untuk tidak hanya menyediakan makanan secara kuantitatif, tetapi juga berkualitas. Ini penting, mengingat bahwa asupan gizi yang memadai akan mempengaruhi kemampuan belajar dan perkembangan mental anak. Langkah ini sekaligus menjadi investasi jangka panjang yang tidak ternilai bagi masa depan bangsa, terutama dalam rangka mewujudkan visi besar Indonesia Emas 2045.
Di sisi lain, program MBG ini mendapatkan penguatan melalui pengembangan model terpadu yang didukung oleh UNICEF. Dukungan tersebut mencakup integrasi antara pemberian makanan tambahan di sekolah, serta program gizi untuk ibu hamil dan balita. Ini bukan perluasan program MBG dalam arti administratif, melainkan bagian dari pendekatan kolaboratif dan holistik dalam menangani masalah gizi di Papua. Pemerintah berkolaborasi bersama UNICEF mendorong keterlibatan lintas sektor, termasuk sekolah, fasilitas kesehatan, dan komunitas lokal, serta memperhatikan rantai pasok pangan dan potensi pangan lokal. Pendekatan ini memperkaya konteks pelaksanaan MBG, menjadikannya lebih adaptif terhadap kebutuhan lokal dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Wakil Bupati Biak Numfor, Jimmy Carter Rumbarar Kapissa, menyampaikan bahwa program MBG adalah wujud nyata usaha pemerintah dalam membangun manusia Indonesia sejak usia dini. Ia menekankan bahwa peningkatan status gizi anak merupakan bagian penting dalam menciptakan generasi unggul yang dapat bersaing secara global. Pemerintah daerah Biak Numfor, misalnya, tidak hanya menjalankan program, tetapi juga aktif dalam menyempurnakan model pelaksanaan dengan melibatkan pemangku kepentingan lokal dalam perencanaan dan eksekusi.
Kementerian dan lembaga terkait di tingkat nasional pun menunjukkan konsistensi dalam mendorong program ini. Perwakilan dari Badan Gizi Nasional menyampaikan bahwa percepatan pelaksanaan MBG diprioritaskan di wilayah timur Indonesia, termasuk Papua. Dengan target nasional sebanyak 3.000 dapur MBG yang akan menjangkau lebih dari 82 juta penerima manfaat, Papua menjadi salah satu fokus dengan rencana 90 dapur dan potensi manfaat bagi lebih dari 270 ribu jiwa. Target besar ini menunjukkan bahwa Papua bukan diposisikan sebagai wilayah pinggiran, melainkan sebagai pusat dari agenda strategis nasional dalam pembangunan gizi masyarakat.
Pelibatan banyak pihak dalam menyukseskan MBG di Papua menjadi cermin dari pendekatan gotong royong dalam kebijakan publik. Pemerintah pusat menetapkan arah dan menyediakan dukungan teknis serta anggaran, sementara pemerintah daerah bertugas memastikan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Lembaga internasional seperti UNICEF melengkapi dukungan tersebut melalui inovasi kebijakan dan pendekatan multisektor. Dengan adanya kerja sama yang erat ini, tantangan-tantangan yang ada di Papua dapat diatasi secara lebih efektif, mulai dari keterbatasan logistik hingga kebutuhan penyesuaian budaya dalam pola konsumsi.
Kehadiran program MBG juga membuka ruang bagi pemberdayaan lokal. Pemanfaatan pangan lokal menjadi salah satu prinsip yang didorong dalam pelaksanaannya. Ini memberi nilai tambah bagi petani dan pelaku usaha kecil di daerah, sekaligus memperkuat ketahanan pangan lokal. Dengan kata lain, MBG tidak hanya menyehatkan generasi muda, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi masyarakat setempat. Ini adalah contoh bagaimana satu program yang dirancang dengan baik dapat memberikan dampak berlapis yang saling menguatkan.
Dalam seluruh proses ini, penting untuk dicatat bahwa MBG bukan sekadar proyek jangka pendek. Ini adalah bagian dari visi besar tentang pembangunan manusia Indonesia. Maka, konsistensi dalam implementasi, monitoring yang ketat, serta evaluasi berkala harus menjadi bagian integral dari pelaksanaannya. Keberhasilan di Papua dapat menjadi model nasional, asalkan dijaga dengan pendekatan yang adaptif dan keberlanjutan yang nyata.
Dengan berbagai upaya yang telah dan sedang dilakukan, dukungan terhadap program Makan Bergizi Gratis di Papua harus terus diperkuat. Pemerintah sudah menunjukkan langkah maju yang perlu diapresiasi dan dijaga. Tantangan di lapangan tentu tidak kecil, namun dengan kolaborasi yang erat dan kepemimpinan yang visioner, program ini dapat menjadi salah satu kebijakan paling berdampak dalam menciptakan generasi sehat, cerdas, dan berdaya saing. Papua, dengan segala potensinya, patut menjadi etalase keberhasilan program MBG sebagai bagian dari misi besar membangun Indonesia Maju.
*) Penggiat Literasi Kemajuan Papua
[edRW]