Optimisme RUU KUHAP Berikan Sistem Peradilan Inklusif

Oleh: Yusran Pratama )*

Upaya pembaruan sistem hukum di Indonesia kembali menunjukkan kemajuan strategis dengan ditargetkannya penyelesaian Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tahun ini. Pemerintah dan DPR menyadari bahwa revisi KUHAP adalah keniscayaan agar selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku efektif pada Januari 2026. Sinkronisasi kedua instrumen hukum ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari ikhtiar mewujudkan peradilan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menekankan pentingnya KUHAP baru yang lebih menjamin kepastian hukum dan menjunjung prinsip keadilan prosedural. Menurut Yusril, revisi KUHAP harus mampu menambal berbagai celah ketidakadilan dalam hukum acara yang selama ini berlangsung. 

Salah satu isu penting yang menjadi perhatian adalah soal penetapan tersangka yang kerap berlangsung tanpa batas waktu jelas. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, bahkan mencederai hak seseorang yang belum tentu bersalah namun telah lama menyandang status tersangka. Melalui RUU KUHAP, pemerintah mengusulkan pembatasan masa penetapan tersangka hingga maksimal dua tahun. Batasan ini penting sebagai bentuk penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah dan untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses penyidikan.

Revisi ini juga menyasar aspek penahanan yang selama ini kerap dilakukan atas dasar kekhawatiran semata, seperti potensi tersangka melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Padahal, dalam banyak kasus, alat bukti telah lengkap bahkan sebelum perkara dilimpahkan ke kejaksaan. Oleh karena itu, KUHAP baru dirancang agar penahanan hanya dilakukan jika benar-benar diperlukan secara obyektif, bukan berdasarkan asumsi subyektif aparat. Kebijakan ini diharapkan mampu membatasi praktik-praktik represif yang tak sejalan dengan prinsip keadilan dan HAM.

Dukungan terhadap upaya pembaruan ini juga datang dari Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, bahwa RUU KUHAP yang tengah dibahas tetap menjaga struktur dasar sistem peradilan pidana, termasuk wewenang penyidikan dan penuntutan. Namun, semangat reformasi yang diusung menekankan prinsip restoratif, restitutif, dan rehabilitatif dalam proses hukum. Ketiga pendekatan ini mencerminkan orientasi baru yang lebih menekankan pada pemulihan dan perlindungan hak, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara luas. Salah satu poin pembaruan yang signifikan adalah penguatan hak atas pendampingan hukum sejak awal proses penyidikan, bahkan bagi saksi dan korban. Pendekatan ini memperkuat posisi individu di hadapan hukum dan memastikan proses hukum berjalan secara adil sejak tahap paling awal.

RUU KUHAP juga mengakomodasi kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan terhadap praktik penyidikan dan penahanan. Untuk menghindari praktik kekerasan atau penyimpangan dalam proses tersebut, regulasi baru ini dirancang agar setiap proses pemeriksaan didampingi pengawasan maksimal, termasuk melalui rekaman kamera pengawas. Selain itu, penguatan peran advokat dalam setiap tahapan akan menjadi jaminan perlindungan atas hak-hak hukum individu. Hal ini mencerminkan transformasi sistem hukum acara pidana ke arah yang lebih transparan dan akuntabel.

Aspek pengawasan tidak berhenti pada tahap penyidikan dan penuntutan. Komisi Yudisial (KY) turut mendorong agar KUHAP yang baru juga memberikan dasar hukum yang lebih kuat bagi pengawasan terhadap hakim dan aparatur peradilan. Ketua KY, Amzulian Rifai, menyoroti lemahnya pengaturan mengenai fungsi pengawasan terhadap hakim dalam KUHAP yang selama ini berlaku. 

KUHAP sebelumnya hanya memberikan ruang pengawasan pada pelaksanaan putusan di tingkat pengadilan. Padahal, proses penegakan hukum dimulai sejak tahap awal penyidikan, dan berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang bisa terjadi sejak saat itu. Oleh karena itu, KY berharap revisi KUHAP mempertegas peran pengawasan yang melibatkan seluruh aktor dalam sistem peradilan, termasuk perilaku hakim dan jaksa dalam semua tingkatan peradilan, bukan sekadar putusannya.

Lebih jauh, KY juga mendorong agar diberikan akses lebih besar terhadap informasi perkara, bahkan dalam sidang tertutup, demi kepentingan pengawasan dan menjaga integritas peradilan. Hal ini penting untuk menjawab ekspektasi publik yang terus meningkat terhadap akuntabilitas aparat penegak hukum. Laporan masyarakat kepada KY mengenai perilaku aparat peradilan menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap sistem hukum sangat bergantung pada transparansi dan responsifnya pengawasan yang dilakukan oleh institusi terkait.

Optimisme terhadap RUU KUHAP bukan semata karena semangat reformasi hukum yang diusung, tetapi juga karena proses penyusunannya melibatkan partisipasi publik yang luas. DPR memastikan draf pembahasan tersedia untuk diakses publik dan membuka ruang partisipatif agar masukan dari berbagai kalangan dapat diakomodasi secara maksimal. Pendekatan ini menandai adanya komitmen untuk menciptakan sistem hukum acara pidana yang tidak hanya menjawab kebutuhan negara, tetapi juga memenuhi harapan masyarakat akan keadilan.

Dengan demikian, RUU KUHAP bukan hanya sebatas penyesuaian teknis terhadap KUHP baru, melainkan momentum penting untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi, transparan, dan akuntabel. Pemerintah dan DPR telah menunjukkan kehendak politik yang kuat untuk mewujudkan pembaruan hukum yang menyeluruh. Dukungan dari lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial turut melengkapi ekosistem hukum yang lebih sehat dan inklusif. Semua elemen ini membentuk fondasi yang kokoh bagi masa depan peradilan Indonesia yang lebih adil, setara, dan berorientasi pada perlindungan hak seluruh warga negara.

)* Pemerhati Bidang Hukum